POSKOTA.CO.ID – Gayathri Arvind, pendiri Abhasa Rehab and Wellness, menyampaikan penjelasan ilmiah terkait kecenderungan seseorang untuk mudah tersinggung oleh komentar atau candaan yang tampaknya tidak bermaksud menyakiti.
Melalui kanal edukasi kesehatan mentalnya, Arvind menyoroti bagaimana reaksi emosional ini berkaitan erat dengan ingatan emosional masa lalu.
"Kenapa kita sering merasa tersinggung oleh hal-hal kecil? Misalnya, ada orang yang melemparkan candaan singkat, tapi kita malah memikirkannya selama berjam-jam," ujar Arvind, dikutip oleh Poskota dari kanal YouTube Abhasa - Mental Health pada Rabu, 9 Juli 2025.
“Secara luar kita tersenyum, tapi di dalam hati terasa sakit. Lalu, kita mulai bertanya-tanya: ‘Apa maksudnya? Apakah aku melakukan sesuatu yang salah?’”
Baca Juga: Hati-Hati! Main Media Sosial Berlebihan Bisa Picu Gangguan Mental
Arvind menjelaskan bahwa otak manusia bekerja layaknya router Wi-Fi yang secara konstan memindai sinyal emosional di sekitar.
“Otak kita memindai tanda-tanda penerimaan, penolakan, penghinaan, cinta, penilaian, bahkan diam. Sama seperti router, otak hanya terhubung dengan sinyal yang kata sandinya sudah kita miliki sebelumnya, yaitu memori emosional,” jelasnya.
Sebagai contoh, komentar seperti “Itu yang kamu pakai ke rapat?” atau “Kamu terlalu sensitif,” menurut Arvind, dapat memicu reaksi emosional mendalam jika otak mengenali emosi serupa dari pengalaman masa lalu, seperti rasa malu saat dimarahi guru atau dibandingkan oleh orang tua.
"Saat kata sandi emosional cocok, otak kita menghubungkan momen saat ini dengan luka lama," ujarnya.
Baca Juga: Mengapa Remaja Indonesia Rentan Alami Gangguan Mental? Simak Penjelasannya
Arvind menyebut bahwa pola ini terbentuk sebagai mekanisme perlindungan.
“Otak kita menyimpan pola-pola ini untuk mencegah kita merasa sakit lagi, maka ia akan tetap siaga terhadap sinyal yang bisa menyakiti,” katanya.
Akibatnya, seseorang cenderung membesar-besarkan komentar ringan, karena secara neurologis otak memandangnya sebagai ancaman yang pernah melukai.
Untuk mengatasi pola tersebut, Arvind menyarankan pendekatan reflektif. “Kita tidak bisa menghentikan otak untuk memindai, tapi kita bisa mengubah kata sandi emosionalnya,” jelasnya. Ia menyarankan agar seseorang berhenti sejenak, menarik napas dalam, dan berkata pada diri sendiri, ‘Otakku sedang mengenali sinyal lama.’
Baca Juga: 3 Aplikasi untuk Cek Kesehatan Mental
Menurut Arvind, langkah tersebut dapat mengaktifkan korteks prefrontal, bagian otak yang bertanggung jawab atas pengambilan keputusan rasional.
“Jangan menolak perasaan itu. Duduklah bersama perasaan tersebut. Namai emosinya, apakah itu rasa malu, ditolak, atau dikucilkan?” katanya. “Jika bisa, telusuri ke masa lalu: ‘Kapan aku pernah merasakan ini sebelumnya?’”
Dengan mengenali akar emosinya, seseorang mulai mengubah respons otomatis yang didasari oleh trauma masa lalu menjadi tanggapan yang lebih sadar dari masa kini.
“Mungkin saja orang itu tidak sedang menyerangmu. Mungkin dia sedang mengekspresikan stresnya sendiri. Mungkin memang bukan tentang kamu sama sekali,” tambahnya.
Baca Juga: Stop Menyangkal! Ini 5 Langkah Efektif Hadapi Masalah Kesehatan Mental
“Dan ketika kamu sudah cukup tenang untuk melihat itu semua, kamu tidak akan lagi mengambil segala sesuatu secara pribadi. Kamu mulai percaya pada dirimu sendiri, tahu nilai dirimu, dan menunjukkan kepada otakmu bahwa kamu tak perlu lagi terhubung dengan jaringan lama.”