POSKOTA.CO.ID – Tak banyak yang tahu, bahwa hanya 3 kilometer ke arah utara dari kawasan modern Kelapa Gading, Jakarta, pernah ditemukan sebuah batu besar, prasasti persembahan dari salah satu raja paling masyhur di abad kelima, yakni Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara.
“Batu itu sebenarnya sudah tidak ada lagi pada lokasinya. Lokasinya yang saya berdiri di sini (Semper dan Kelapa Gading) dan sekarang sudah menjadi sebuah jalan raya yang sangat ramai,” kata arkeolog Candrian Attahiyyat, dikutip oleh Poskota dari kanal YouTube TEDx Talks.
Kini, lokasi tersebut telah berubah menjadi jalan penghubung padat kendaraan berat antara Semper dan Kelapa Gading.
Berdiri di titik yang sama, Candrian membayangkan suasana 1.400 tahun lalu, ketika mungkin saja di situ mengalir air jernih, melewati istana dan ibu kota kerajaan. “Tentu ini adalah sebuah mengkhayal saja, tapi kenyataannya sudah 100 persen berubah total,” ujar Candrian.
Baca Juga: Sejarah Jakarta: Tujuh Kali Ganti Nama dari Mulai Zaman Sunda Kalapa hingga Zaman Kolonial
Mencari Sungai Purba di Tengah Jakarta
Dengan tekad menelusuri jejak sungai purbakala yang disebut dalam prasasti, Candrian masuk ke sebuah gang sempit.
Di sanalah ia bertemu dengan Pak Ali, warga setempat berusia 76 tahun yang telah tinggal di daerah itu sejak lahir. Sekitar beberapa langkah dari rumah Pak Ali, terlihat ada aliran sungai. Namun kenyataannya mengecewakan. Kali yang dimaksud kini sempit, kotor, dan bau menyengat.
“Banyak warga yang membuang kotorannya ke kali ini,” ujar Candrian. Sungai ini, yang disebut merupakan percabangan dari sungai purba, bercabang dua, satu ke kiri disebut Sungai Purbakala, dan satu ke kanan adalah kanal buatan Belanda untuk menanggulangi banjir.
Untuk mengetahui lebih lanjut, Candrian diarahkan ke Haji Saman, seorang sesepuh setempat yang disebut “kuncen terakhir” dari sebuah Pasarean, tempat keramat yang dipercaya sebagai lokasi awal penemuan prasasti.
Pasarean dan Mitos Batu Tumbuh
Pasarean ini adalah lokasi di mana prasasti besar pernah ditemukan. Walau batu aslinya telah dipindahkan ke Museum Nasional, masyarakat masih mempercayai kisah sakral tentang batu yang “membesar dan meninggi.”
Menurut Haji Saman, sebenarnya bukan batunya yang membesar, melainkan akar pohon di atasnya yang tumbuh, sehingga membuat batu seperti terangkat.
“Sekarang namanya itu sudah menjadi namanya Kampung Batu Tumbuh atau orang setempat nyebutnya Desa Tumbuh,” terang Candrian.
Sayangnya, kampung tersebut kini hanya tersisa sebagai nama jalan kecil: Jalan Batu Tumbuh.
Baca Juga: Jawaban Mengapa Bekasi Bagian dari Jawa Barat, Padahal Sejarahnya Dekat dengan Jakarta
Peta 1920 dan Jejak Sejarah yang Hilang
Dalam sebuah peta dari tahun 1920 yang ditunjukkan Candrian, terlihat jelas nama "Batoe Tomboeh" dan kawasan sekitarnya yang masih berupa sawah dan rawa, termasuk Kelapa Gading yang saat itu belum menjadi kawasan elit seperti sekarang.
Berdasarkan penelitian Belanda, aliran sungai dari kawasan ini masuk ke Lagoa, Cilincing, dan bermuara di Marunda, bagian dari sistem sungai purba yang disebut dalam Prasasti Tugu.
Prasasti ini dipindahkan pada tahun 1879 oleh otoritas Belanda ke Museum Nasional (dulu disebut Museum Arca).
Menurut cerita Haji Saman, “dipindahkannya itu dengan cara diangkut dengan gerobak ditarik dengan beberapa sapi.” Bayangkan betapa jauhnya perjalanan batu itu menembus hutan dan rawa pada masa itu.
Baca Juga: Asal Usul Fenomena Bahasa Campuran Indonesia-English di Jaksel, Ternyata Ini Sejarahnya
Prasasti Tugu: Warisan Peradaban yang Terlupakan
Prasasti Tugu merupakan salah satu prasasti tertua di Indonesia. Ditulis dalam aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta, prasasti ini menyebutkan bahwa Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara memerintahkan pembangunan saluran air dari Sungai Candrabaga (kini Kali Cakung) menuju Cilincing.
Saluran ini bernama Sungai Gomati dan dibangun sepanjang 11 km hanya dalam waktu 21 hari, dengan bantuan para Pandita Brahmana yang kemudian diberikan 1.000 ekor sapi sebagai penghargaan.
Namun kini, “Kali Cakung atau Sungai Cakung yang percabangannya dulu disebut Candrabaga dan Gomati itu sudah tidak dihargai lagi oleh warga setempat,” ungkap Candrian.
Saluran air purba ini telah berubah menjadi got tempat pembuangan limbah rumah tangga dan industri.