Patung ini menjadi simbol pengabdian tanpa lelah, kepemimpinan, dan semangat patriotik dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia. Meski dalam kondisi kesehatan yang buruk akibat tuberkulosis, Jenderal Sudirman tetap memimpin gerilya melawan Agresi Militer Belanda II pada 1948.
Kisahnya sebagai komandan yang terus berjuang meski harus digendong atau ditandu telah menjadi legenda dan inspirasi bagi bangsa Indonesia.
Sejarah Pembangunan Patung Jenderal Sudirman
Rencana pembangunan patung ini muncul pada September 2001, sebagai hasil dari sayembara patung pahlawan yang digelar pada 1999. Biaya pembangunannya sebesar Rp6,6 miliar berasal dari swasta, bukan APBD DKI Jakarta.
Sebagai kompensasi, pengusaha pendana mendapat dua titik iklan di lokasi strategis Dukuh Atas.
Awalnya, patung ini direncanakan diresmikan pada 22 Juni 2003 bertepatan dengan HUT ke-476 DKI Jakarta, namun baru diresmikan pada 16 Agustus 2003 oleh Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, didampingi Kepala Dinas Pertamanan DKI Maurits Napitupulu dan keluarga Jenderal Sudirman, Hanung Faini.
Baca Juga: Sejarah dan Asal Usul Jakarta: Dari Sunda Kelapa hingga Kota Metropolitan
Desain dan Makna Simbolik Patung
Patung setinggi 12 meter ini dirancang oleh seniman asal Bandung, Edi Sunaryo. Terbuat dari perunggu seberat 4 ton, patung ini menggambarkan Jenderal Sudirman dalam seragam lengkap TNI, berdiri tegak dengan tangan kanan terangkat sebagai bentuk penghormatan.
Sikap ini melambangkan rasa hormat kepada bangsa dan negara, serta peran besar TNI dalam menjaga kedaulatan Indonesia.
Ekspresi wajahnya yang tegas mencerminkan semangat juang dan komitmen tinggi terhadap kemerdekaan. Posisinya yang menghadap Jalan Jenderal Sudirman memperkuat ikon sejarah di jantung ibu kota.
Kilasan Perjalanan Jenderal Sudirman
Lahir di Purbalingga, Jawa Tengah, pada 24 Januari 1916, Sudirman sejak muda telah menunjukkan jiwa kepemimpinan dan nasionalisme yang tinggi.
Ia bergabung dengan PETA (Pembela Tanah Air) di masa pendudukan Jepang dan diangkat sebagai Panglima Besar TNI pada usia 29 tahun.
Perannya dalam memimpin gerilya melawan Belanda (1948-1949) dalam kondisi sakit parah menjadi bukti keteguhan hatinya.