POSKOTA.CO.ID - Selama ini, banyak individu tanpa sadar terjebak dalam siklus menyalahkan diri sendiri atas reaksi emosional yang muncul dari kelelahan hidup.
Salah satunya adalah survival mode suatu kondisi psikologis di mana tubuh dan pikiran bereaksi seolah berada dalam keadaan darurat yang terus-menerus. Kondisi ini kerap dianggap sebagai “masalah” yang harus dihilangkan, padahal ia justru adalah sistem alarm tubuh yang pernah berjasa menjaga seseorang dari kehancuran mental.
Artikel ini mengajak pembaca untuk mengubah perspektif: dari melawan, menjadi memeluk sisi diri yang selama ini bertahan. Dalam proses ini, journaling, perenungan, dan pendekatan penuh kasih terhadap diri sendiri dapat menjadi pintu masuk menuju penyembuhan emosional dan perasaan aman yang sejati.
Baca Juga: Video 7 Menit Collab Ello MG Viral, Apa Pekerjaan Suami Msbreewc? Profil Suami Ikut Disorot
Mengenal Survival Mode: Bukan Musuh, Tetapi Pelindung
Dalam kehidupan yang penuh tekanan, tidak sedikit dari kita yang secara tidak sadar masuk dalam kondisi survival mode—sebuah mode bertahan hidup yang membuat kita selalu siaga, cemas, dan terkadang terlalu keras terhadap diri sendiri. Sayangnya, kondisi ini sering disalahartikan sebagai “masalah” yang harus segera disingkirkan.
Namun, pernahkah Anda berpikir bahwa justru survival mode inilah yang berjasa menjaga Anda tetap berdiri sampai hari ini?
Melansir dari Instagram @Vibrasi_Syukur, survival mode bukanlah kerusakan. Ia adalah sistem alarm yang aktif ketika tubuh dan jiwa Anda merasa terancam, bahkan jika ancaman itu tidak lagi nyata. Maka, melawannya terus-menerus hanya akan membuat tubuh semakin kelelahan dan pikiran semakin penuh dengan tekanan internal.
Survival Mode dan Salah Kaprah Produktivitas
Banyak individu merasa survival mode membuat mereka tidak produktif, mudah panik, dan penuh overthinking. Dalam pandangan umum, hal ini dianggap sebagai hambatan terhadap pertumbuhan pribadi atau karier. Padahal, di balik “kebisingan” mental itu, ada sisi diri yang sedang berteriak minta dipahami bukan untuk diabaikan, apalagi diperangi.
Menghilangkan survival mode tanpa mengenali akarnya hanya akan memperburuk kelelahan emosional. Kenyataannya, bagian diri yang kita anggap mengganggu itu pernah dan mungkin masih menjadi pelindung terbaik dari pengalaman traumatis atau lingkungan yang tak aman.
Pendekatan Baru: Dari Melawan Menjadi Memeluk
Alih-alih bertanya “Bagaimana cara mengusir survival mode?”, mungkin pertanyaan yang lebih menyentuh dan menyembuhkan adalah: "Sudah berapa lama aku melawan bagian diriku yang dulu hanya ingin aku selamat?"
Transformasi emosional dimulai dari pengakuan bahwa kita tidak rusak kita hanya lelah. Dan dari kelelahan itu, muncullah kebutuhan baru: rasa aman, bukan sekadar kekuatan untuk terus bertahan.
Pendekatan ini mengajak kita untuk:
- Berhenti menyalahkan reaksi emosional yang muncul
- Menerima bahwa rasa panik dan cemas adalah bentuk alarm, bukan kelemahan
- Membangun hubungan dialogis dengan tubuh dan emosi sendiri
Journaling: Alat Refleksi untuk Merangkul Sisi Rentan
Salah satu cara paling efektif untuk memulai perjalanan pulang ke diri sendiri adalah melalui journaling menulis secara reflektif. Ini bukan tentang menjadi “lebih baik lebih cepat”, melainkan memberi ruang bagi suara hati yang selama ini terkubur dalam tuntutan untuk kuat terus-menerus.
Cobalah ambil jurnal atau buku catatan harianmu. Lanjutkan tiga kalimat sederhana ini:
- Bagian diriku yang selama ini berjaga adalah…
- Aku ingin bilang terima kasih karena…
- Mulai hari ini, aku izinkan diriku untuk merasa…
Tiga kalimat ini adalah jembatan antara rasa marah pada diri sendiri dan rasa syukur pada sisi yang pernah menyelamatkanmu. Mereka membuka jalan bagi proses memeluk, bukan lagi melawan.
Merawat Rasa Aman di Tengah Kewajiban Hidup
Tantangan terbesar setelah menyadari peran survival mode adalah menciptakan lingkungan yang aman secara emosional untuk diri sendiri. Ini berarti mengurangi tekanan internal seperti:
- Terlalu keras pada diri saat gagal
- Memaksakan produktivitas tanpa istirahat
- Mengabaikan sinyal kelelahan mental
Menghadirkan rasa aman bisa dilakukan melalui langkah-langkah kecil:
- Memberi jeda untuk bernapas dan istirahat
- Menciptakan rutinitas harian yang stabil
- Menjauh dari relasi atau lingkungan yang menguras energi
- Belajar mengomunikasikan kebutuhan emosional tanpa rasa bersalah
Baca Juga: Hari Janda Internasional Diperingati Tiap 23 Juni, Berikut Sejarah dan Tujuannya
Dari Kelelahan Menuju Pemulihan
Rasa lelah bukan tanda bahwa Anda kalah. Ia adalah sinyal bahwa Anda telah terlalu lama berjalan tanpa jeda. Dan bagian diri yang menjaga Anda selama ini meskipun penuh dengan kecemasan, panik, dan mekanisme bertahan yang ekstrem perlu dihargai, bukan dilupakan.
Mengubah cara kita melihat survival mode dari musuh menjadi sekutu, adalah langkah awal dalam pemulihan jangka panjang. Dalam dunia yang terus-menerus menuntut produktivitas, pulang ke diri sendiri adalah bentuk perlawanan yang paling penuh kasih.
Tidak ada jalan pintas untuk membangun rasa aman. Namun, selalu ada langkah kecil yang bisa diambil hari ini: berhenti menyalahkan diri, mulai mendengarkan tubuh dan emosi, dan menulis sebagai bentuk pengakuan.
Kamu tidak sendirian. Dan kamu tidak perlu kuat terus-menerus. Kamu layak merasa aman.