Pengantin Wanita Asal Sumsel Langsung Minta Cerai Usai Akad, Ternyata Ini Penyebabnya

Senin 23 Jun 2025, 08:10 WIB
Baru Saja Akad, Pengantin Wanita Ini Langsung Gugat Cerai! Video dari Sumsel Viral di Medsos (Sumber: Tiktok/@urbanpalembang)

Baru Saja Akad, Pengantin Wanita Ini Langsung Gugat Cerai! Video dari Sumsel Viral di Medsos (Sumber: Tiktok/@urbanpalembang)

POSKOTA.CO.ID - Sebuah video berdurasi singkat yang diunggah melalui akun TikTok @urbanpalembang mendadak viral di media sosial, memperlihatkan momen akad nikah yang berubah drastis dari haru menjadi tegang.

Video ini disebut terjadi di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Sumatera Selatan, menampilkan peristiwa langka sekaligus memilukan: seorang pengantin wanita meminta cerai tepat setelah ijab kabul dinyatakan sah.

Kejadian ini sontak mengundang perhatian warganet dari berbagai kalangan, terutama setelah alasan mengejutkan di balik permintaan cerai itu diungkap sang mempelai wanita sendiri.

Dengan nada tegas dan ekspresi tanpa senyum, ia menyatakan penolakannya terhadap pernikahan yang dijalaninya. Dalam bahasa daerah yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai komentar di TikTok, ia berkata, “Aku mau cerai, aku gak suka, dia melecehkan aku.”

Baca Juga: Dukung Program Prabowo, Setiabudiland Kembangkan Rumah MBR

Identitas dan Dugaan Pemaksaan Pernikahan

Dalam rekaman video yang beredar, terlihat seorang pria paruh baya mengenakan pakaian pengantin lengkap sedang mengucapkan ijab kabul. Para saksi kemudian menyatakan kata “sah” dan menyambutnya dengan “hamdalah”.

Namun suasana berubah ketika sang mempelai wanita, yang juga mengenakan pakaian pengantin putih, langsung menyuarakan ketidaksukaannya dan permintaan untuk bercerai.

Menurut penuturan beberapa akun TikTok seperti @healtyaja dan @inivirasanss, pernikahan tersebut diduga dipaksakan sebagai bentuk "penebusan aib" akibat dugaan pelecehan seksual yang dilakukan mempelai pria terhadap mempelai wanita sebelumnya.

Dalam banyak tradisi lokal di wilayah tertentu di Indonesia, pernikahan acapkali dipaksakan untuk menjaga nama baik keluarga setelah kasus pelecehan atau kehamilan di luar nikah.

Namun dalam kasus ini, pengantin wanita berani mengambil sikap yang sangat tidak biasa: menolak pernikahan tersebut secara terbuka, bahkan di hadapan penghulu, keluarga, dan masyarakat. Keberaniannya tersebut memicu gelombang simpati dan dukungan dari netizen, yang mengecam praktik pemaksaan nikah sebagai bentuk kekerasan berbasis gender.

Respons Publik: Antara Simpati dan Kecaman terhadap Budaya Patriarkal

Respons masyarakat di media sosial sangat beragam, namun mayoritas menunjukkan dukungan terhadap tindakan sang pengantin wanita. Banyak yang menyuarakan kekhawatiran terhadap budaya yang justru menyalahkan korban dan memaksa mereka menikah dengan pelaku sebagai solusi.

Komentar seperti:

“Aku dukung perempuannya. Gak semua harus nurut budaya kalau menyakiti perempuan,”

“Dia korban, bukan pelaku. Tapi dipaksa nikah karena alasan malu? Ini bukan zaman kerajaan,”

“Putrinya dilecehkan malah dinikahkan sama pelaku, di mana keadilan?”

Menggambarkan bahwa publik kini semakin kritis terhadap norma-norma sosial yang tidak lagi relevan dengan prinsip keadilan dan hak asasi manusia.

Budaya ‘Nikah karena Aib’: Warisan Patriarki yang Harus Dievaluasi

Di banyak daerah di Indonesia, terutama di wilayah pedesaan, ketika seorang perempuan mengalami pelecehan atau hubungan di luar nikah (baik sukarela atau dipaksa), keluarga korban sering merasa harus menikahkan anak mereka dengan pelaku untuk menutup aib. Praktik ini sudah berlangsung lama, dengan alasan menjaga kehormatan keluarga dan menghindari stigma sosial.

Namun, dalam banyak kasus, tindakan ini justru menambah penderitaan korban karena mereka dipaksa menjalani hidup bersama orang yang telah menyakitinya.

Dalam konteks hukum dan hak asasi manusia, tindakan seperti ini tidak dapat dibenarkan. Bahkan, Komnas Perempuan dan berbagai lembaga perlindungan anak dan perempuan telah berkali-kali menyuarakan penolakan terhadap praktik semacam ini.

Pernikahan Paksa Melanggar HAM

Menurut Pasal 10 Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), pemaksaan pernikahan kepada korban kekerasan seksual dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum.

Selain itu, pemaksaan pernikahan bertentangan dengan prinsip kesukarelaan dalam pernikahan yang dijamin oleh Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.

Perlu Reformasi Sosial dan Edukasi Gender

Kejadian di PALI ini seharusnya menjadi momentum untuk merefleksikan ulang nilai-nilai sosial yang masih memandang perempuan sebagai penjaga kehormatan keluarga, sehingga mereka harus “mengorbankan” masa depan demi menutup aib. Alih-alih melindungi korban, budaya ini justru memperkuat dominasi patriarki dan membungkam suara perempuan.

Perlu ada upaya serius dari lembaga pendidikan, tokoh agama, hingga pemerintah daerah untuk memberikan edukasi soal kesetaraan gender, pentingnya persetujuan dalam pernikahan, dan hak perempuan atas tubuh dan masa depannya sendiri.

Baca Juga: Rekor! Mandiri Jogja Marathon 2025 Capai Puncak, 9.200 Pelari dan NDX AKA Ramaikan Prambanan

Viralitas sebagai Sarana Advokasi Sosial

Kasus ini menunjukkan bagaimana media sosial mampu menjadi ruang advokasi yang efektif. Aksi pengantin wanita ini, yang direkam dan disebarkan publik, bukan hanya menjadi bahan gosip sesaat, tetapi juga pemicu diskusi nasional soal pernikahan paksa, pelecehan seksual, dan hak perempuan.

Fenomena viral yang sebelumnya sering dianggap sebagai konsumsi hiburan semata, kini berubah menjadi ruang penyadaran kolektif. Ketika publik bersuara satu hati mendukung korban dan mengecam praktik pemaksaan nikah, maka peluang perubahan sosial pun semakin terbuka.

Keberanian pengantin wanita di PALI menyuarakan keberatannya menjadi simbol perlawanan terhadap sistem yang sering kali tidak adil terhadap korban. Ia bukan hanya menolak pernikahan, tapi juga menolak diam. Kasus ini menjadi pengingat bahwa suara perempuan harus didengar, dihormati, dan dilindungi oleh sistem hukum, budaya, dan masyarakat secara luas.

Melalui momentum viral ini, diharapkan kesadaran publik semakin meningkat bahwa pernikahan bukanlah alat untuk menutup aib, melainkan komitmen yang lahir dari kesepakatan dua pihak yang setara dan merdeka.


Berita Terkait


News Update