Komentar seperti:
“Aku dukung perempuannya. Gak semua harus nurut budaya kalau menyakiti perempuan,”
“Dia korban, bukan pelaku. Tapi dipaksa nikah karena alasan malu? Ini bukan zaman kerajaan,”
“Putrinya dilecehkan malah dinikahkan sama pelaku, di mana keadilan?”
Menggambarkan bahwa publik kini semakin kritis terhadap norma-norma sosial yang tidak lagi relevan dengan prinsip keadilan dan hak asasi manusia.
Budaya ‘Nikah karena Aib’: Warisan Patriarki yang Harus Dievaluasi
Di banyak daerah di Indonesia, terutama di wilayah pedesaan, ketika seorang perempuan mengalami pelecehan atau hubungan di luar nikah (baik sukarela atau dipaksa), keluarga korban sering merasa harus menikahkan anak mereka dengan pelaku untuk menutup aib. Praktik ini sudah berlangsung lama, dengan alasan menjaga kehormatan keluarga dan menghindari stigma sosial.
Namun, dalam banyak kasus, tindakan ini justru menambah penderitaan korban karena mereka dipaksa menjalani hidup bersama orang yang telah menyakitinya.
Dalam konteks hukum dan hak asasi manusia, tindakan seperti ini tidak dapat dibenarkan. Bahkan, Komnas Perempuan dan berbagai lembaga perlindungan anak dan perempuan telah berkali-kali menyuarakan penolakan terhadap praktik semacam ini.
Pernikahan Paksa Melanggar HAM
Menurut Pasal 10 Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), pemaksaan pernikahan kepada korban kekerasan seksual dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum.
Selain itu, pemaksaan pernikahan bertentangan dengan prinsip kesukarelaan dalam pernikahan yang dijamin oleh Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.
Perlu Reformasi Sosial dan Edukasi Gender
Kejadian di PALI ini seharusnya menjadi momentum untuk merefleksikan ulang nilai-nilai sosial yang masih memandang perempuan sebagai penjaga kehormatan keluarga, sehingga mereka harus “mengorbankan” masa depan demi menutup aib. Alih-alih melindungi korban, budaya ini justru memperkuat dominasi patriarki dan membungkam suara perempuan.
Perlu ada upaya serius dari lembaga pendidikan, tokoh agama, hingga pemerintah daerah untuk memberikan edukasi soal kesetaraan gender, pentingnya persetujuan dalam pernikahan, dan hak perempuan atas tubuh dan masa depannya sendiri.