TANGERANG, POSKOTA.CO.ID - Di sudut bising Kota Tangerang, di antara gemuruh kereta dan debu yang beterbangan, berdiri sebuah gubuk ringkih di atas sebidang tanah yang nyaris terlupakan.
Atap seadanya dibalut terpal biru yang sudah robek di beberapa bagian, dindingnya triplek bekas yang reyot dimakan usia. Di sinilah Nurmaya, 45 tahun, menambatkan hidupnya.
Bukan istana yang ia tinggali. Rumah itu lebih mirip perahu bocor yang menunggu karam, tak beratap di kamar mandi, tak berpintu pula. Air bersih adalah kemewahan—jika rezeki cukup, ia membeli air isi ulang. Jika tidak, ia bersabar.
Namun, rumah kecil itu menyimpan cinta yang tak lekang oleh keterbatasan. Di sana, Nurmaya tak sendiri. Selama enam tahun ini, ia hidup bersama puluhan kucing jalanan yang ia selamatkan. Bagi perempuan ini, mereka bukan sekadar hewan—mereka adalah keluarga.
Baca Juga: Satu-satunya Harapan Suryadi hanya Dedi Mulyadi
Setiap hari, sejak siang sampai dini hari, langkah Nurmaya menyusuri jalanan kota. Tangannya telaten memilah botol, kardus, dan sisa-sisa yang tak lagi dipedulikan orang. Pendapatannya tak sampai Rp30.000 per hari, namun justru sebagian besar dari itu ia sisihkan untuk makanan kucing-kucingnya.
“Saya masih bisa tahan lapar,” bisiknya pelan kepada Poskota, Minggu, 22 Juni 2025.
“Tapi kucing-kucing ini… mereka enggak punya siapa-siapa selain saya. Mereka juga ciptaan Allah.”
Kisah kasih yang ia jalani bukan tanpa luka. Beberapa kucing yang ia temui berada di ambang ajal—ada yang kurus tinggal tulang, ada yang berdarah, bahkan masih merah tak berdaya dibuang di pinggir jalan.
Baca Juga: Setiap Malam Cambang dan Anaknya Tidur Bareng Ayam
Ia bawa semua mereka pulang, dirawat dengan tangannya sendiri. Tak jarang, seekor kucing ia masukkan ke dalam kardus untuk dibawa serta saat ia memulung—tak tega ditinggal sendirian.
“Pernah satu yang saya temukan kakinya luka parah, baru lahir. Saya sampai nangis,” kenangnya, matanya menerawang sembari mengelus lembut seekor kucing kecil yang meringkuk di pangkuannya.
Tak hanya kemiskinan yang menguji Nurmaya, tetapi juga ancaman dari alam. Ular kerap menyusup saat hujan mengguyur deras dan rumahnya kebanjiran. Namun, ia sudah tak gentar.
Ular ia usir seperti tikus, katanya. Tapi satu kali, ia kehilangan seekor kucing kesayangannya karena terlilit ular.
Baca Juga: Setiap Malam Cambang dan Anaknya Tidur Bareng Ayam
“Saya nangis tiap malam habis itu,” lirihnya. “Tapi saya enggak bisa nyerah.”
Dunia mungkin tak banyak melirik Nurmaya. Ia hidup di lorong sunyi, tak pernah disapa pejabat, tak dijangkau relawan. Rumahnya seperti titik kecil di peta kota yang besar—terlupakan, tersembunyi. Tapi dari tempat sunyi itu, ia menyalakan lentera kasih yang tulus.
“Saya enggak minta apa-apa. Saya jalani saja. Tapi… kalau boleh berharap, semoga ada yang peduli, bukan sama saya aja… tapi juga sama kucing-kucing ini.”
Dulu, dari hasil memulung, Nurmaya masih bisa menabung. Tapi kini, banyak tempat sampah ditutup. Ia hanya bergantung pada sisa-sisa sampah yang tercecer. Rezekinya kian menipis, namun kasihnya tak pernah berkurang.
Baca Juga: Waw! Pedagang Kambing di Tambun Utara Raup Omzet Setengah Miliar
Dalam sunyi hidup yang sederhana, Nurmaya mengajarkan sesuatu yang agung: bahwa kemanusiaan tak diukur dari harta, gelar, atau pangkat. Ia juga menunjukkan bahwa cinta tak butuh panggung.
Meski dunia memandang hidupnya sebagai kesedihan, ia memiliki pemikiran yang berbeda. Ia hidup dalam keheningan yang penuh pengabdian—bukan untuk dikenang, tapi untuk menyelamatkan makhluk-makhluk kecil yang seringkali luput dari perhatian kita. (CR-1)