“Pernah satu yang saya temukan kakinya luka parah, baru lahir. Saya sampai nangis,” kenangnya, matanya menerawang sembari mengelus lembut seekor kucing kecil yang meringkuk di pangkuannya.
Tak hanya kemiskinan yang menguji Nurmaya, tetapi juga ancaman dari alam. Ular kerap menyusup saat hujan mengguyur deras dan rumahnya kebanjiran. Namun, ia sudah tak gentar.
Ular ia usir seperti tikus, katanya. Tapi satu kali, ia kehilangan seekor kucing kesayangannya karena terlilit ular.
Baca Juga: Setiap Malam Cambang dan Anaknya Tidur Bareng Ayam
“Saya nangis tiap malam habis itu,” lirihnya. “Tapi saya enggak bisa nyerah.”
Dunia mungkin tak banyak melirik Nurmaya. Ia hidup di lorong sunyi, tak pernah disapa pejabat, tak dijangkau relawan. Rumahnya seperti titik kecil di peta kota yang besar—terlupakan, tersembunyi. Tapi dari tempat sunyi itu, ia menyalakan lentera kasih yang tulus.
“Saya enggak minta apa-apa. Saya jalani saja. Tapi… kalau boleh berharap, semoga ada yang peduli, bukan sama saya aja… tapi juga sama kucing-kucing ini.”
Dulu, dari hasil memulung, Nurmaya masih bisa menabung. Tapi kini, banyak tempat sampah ditutup. Ia hanya bergantung pada sisa-sisa sampah yang tercecer. Rezekinya kian menipis, namun kasihnya tak pernah berkurang.
Baca Juga: Waw! Pedagang Kambing di Tambun Utara Raup Omzet Setengah Miliar
Dalam sunyi hidup yang sederhana, Nurmaya mengajarkan sesuatu yang agung: bahwa kemanusiaan tak diukur dari harta, gelar, atau pangkat. Ia juga menunjukkan bahwa cinta tak butuh panggung.
Meski dunia memandang hidupnya sebagai kesedihan, ia memiliki pemikiran yang berbeda. Ia hidup dalam keheningan yang penuh pengabdian—bukan untuk dikenang, tapi untuk menyelamatkan makhluk-makhluk kecil yang seringkali luput dari perhatian kita. (CR-1)