POSKOTA.CO.ID – Ketertarikan seseorang untuk kembali pada sosok yang pernah menyakiti mereka kerap kali dianggap sebagai bentuk kelemahan.
Namun menurut advokat kesehatan mental, Gayathri Arvind, kondisi ini lebih dari sekadar keputusan emosional.
Ia menyebut bahwa ada "kait emosional tak terlihat" yang tertanam dalam sistem saraf dan pengalaman masa lalu seseorang, yang membuat mereka sulit lepas dari hubungan yang menyakitkan.
"Mengapa kita kembali pada orang yang menyakiti kita? Karena ada kait emosional yang hidup di sistem saraf, dalam memori, dalam kebutuhan yang belum terpenuhi," ujar Gayathri Arvind, dikutip oleh Poskota dari kanal YouTube Abhasa - Mental Health. Ia menyebut sedikitnya ada empat jenis kait yang membuat seseorang terjebak dalam pola hubungan yang merugikan.
Baca Juga: Fenomena Kecanduan Pinjol, Apakah Benar Adalah Gangguan Kesehatan Mental?
Iblis yang Dikenal (The Known Devil)
Menurut Gayathri, otak manusia menyimpan sesuatu yang disebut survival memory, yakni memori yang tidak menyimpan fakta, melainkan pola.
Seseorang yang tumbuh dalam lingkungan keluarga tidak stabil secara emosional bisa belajar bahwa cinta identik dengan ketidakpastian dan kecemasan.
"Tanpa disadari, otak kita mengaitkan cinta dengan rasa tidak aman, keheningan, atau ketegangan. Bagi otak, yang dikenal lebih aman daripada yang tidak dikenal, meski itu menyakitkan," katanya.
BACA JUGA:
Baca Juga: Fakta Menarik Sapi Simmental, Hewan Kurban Pilihan Presiden Prabowo sebagai Kurban Idul Adha 1446 H
Sindrom 'Sekali Lagi' (One More Time Syndrome)
Seringkali, seseorang tidak kembali karena masih mencintai, melainkan karena merasa ada yang belum selesai.
Ketiadaan penutupan atau klarifikasi dari pasangan sebelumnya memicu otak untuk mencari jawaban.
"Anda tidak kembali demi cinta, tetapi demi jawaban. Tapi beberapa orang tidak akan pernah memberi Anda itu, karena mereka tidak mau bertanggung jawab," jelasnya.
Baca Juga: 5 Kesalahan Pemula Saat Galbay Pinjol yang Bikin Mental Drop, Jangan Anggap Remeh!
Perangkap Titik Manis (The Sweet Spot Trap)
Hubungan yang tidak sehat pun kadang memiliki momen manis yang dikenang.
Otak manusia sangat rentan terhadap variable reinforcement, hadiah emosional yang datang tidak menentu, seperti pesan hangat di tengah ketidakpedulian.
"Kita tidak hanya mencintai mereka, kita menginginkan sensasi itu lagi. Seperti judi, kita mengejar kemungkinan akan mendapatkan kembali rasa cinta itu," terang Gayathri.
Baca Juga: Pinjol Jerat Mahasiswa! Ini Dampak Finansial, Tekanan Mental hingga Tuntutan Solusi dari Kampus
Perasaan yang Hilang (The Missing Feeling)
Setelah berakhirnya hubungan, yang paling menyakitkan bukan pertengkarannya, tapi keheningan setelahnya. Reaksi ini, menurutnya, menyerupai gejala putus zat adiktif.
"Yang Anda rindukan bukan orangnya, tapi perasaan yang mereka berikan, validasi, koneksi, rasa nyaman," ujarnya. "Sistem tubuh kita panik karena kehilangan itu, dan membuat kita merasa tidak bisa hidup tanpanya."
Baca Juga: Pinjol Jerat Mahasiswa! Ini Dampak Finansial, Tekanan Mental hingga Tuntutan Solusi dari Kampus
Gayathri menyarankan, langkah awal untuk keluar dari siklus ini adalah dengan menyadari kait mana yang sedang menarik seseorang kembali.
"Saat Anda sadar, logika Anda mulai bekerja, dan Anda bisa menghentikan spiral itu sebelum berlanjut," kata dia.
Namun, ia menekankan bahwa kesadaran saja kadang tidak cukup. "Ini bukan soal kemauan, tapi soal penyembuhan akar masalahnya. Di sinilah peran terapi bisa sangat membantu."