“Sejarah Aceh itu lebih panjang dari NKRI karena kerajaan Aceh sudah ada jauh sebelum NKRI,” ujarnya, seraya mengingatkan bahwa wilayah tersebut pernah menjadi lokasi konflik dan operasi militer yang berat di masa lalu.
Menurut Rocky, ketegangan ini menandakan bahwa negara masih kurang memahami hak-hak tradisional dan sejarah lokal. Ia juga mengingatkan agar pemerintah tidak memandang pulau-pulau tersebut semata dari perspektif administratif.
“Tentu masyarakat Aceh tidak akan mengklaim itu seolah-olah warisan nenek moyang mereka. Tetapi Aceh mengirim sinyal bahwa pemerintah pusat tidak mengerti sejarah Aceh,” tegasnya.
Baca Juga: Kunjungan Pertama Presiden Prabowo Subianto ke Singapura, Bahas Apa?
Solusi Demokratis yang Dinanti
Sejak penandatanganan perjanjian damai Helsinki, Aceh menjalani fase rekonsiliasi dan pembangunan dalam kerangka otonomi khusus.
Namun, kasus empat pulau ini memperlihatkan bahwa luka masa lalu masih membekas, dan pendekatan sentralistik berisiko memicu ketegangan baru.
Rocky menyatakan bahwa penyelesaian yang demokratis dan menghargai kearifan lokal menjadi harapan utama masyarakat Aceh. “Itu yang sekarang sedang ditunggu,” ujarnya.
Keputusan Presiden Prabowo untuk mengembalikan empat pulau ke Aceh dapat dipandang sebagai upaya menjaga harmoni antarwilayah dan merespons keresahan masyarakat lokal secara konstruktif.