POSKOTA.CO.ID – Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, memutuskan untuk mengembalikan empat pulau yang sebelumnya dipindahkan kewenangannya ke Provinsi Sumatera Utara.
Pulau-pulau tersebut ditetapkan tetap menjadi bagian dari Provinsi Aceh, setelah sebelumnya menuai protes dari masyarakat setempat. Langkah ini dinilai sebagai bentuk pengakuan atas aspirasi rakyat Aceh yang menolak keputusan Kementerian Dalam Negeri di era Presiden Joko Widodo.
Kala itu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyerahkan kewenangan administratif atas keempat pulau kepada Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, yang juga menantu Presiden Jokowi.
“Ini berarti Presiden lebih mendengar aspirasi rakyat Aceh ketimbang aspirasi Bobby,” kata jurnalis senior Hersubeno Arief dalam perbincangannya bersama pengamat politik Rocky Gerung, dikutip oleh Poskota dari kanal YouTube Rocky Gerung Official pada Rabu, 18 Juni 2025.
Baca Juga: 4 Pulau di Aceh Diisukan Akan Digeser ke Sumatera Utara? Presiden Prabowo Akhirnya Angkat Bicara
Kritik Terhadap Pendekatan Pemerintah Pusat
Langkah pemerintah pusat sebelumnya dikritik oleh berbagai pihak, terutama setelah Kepala Kantor Komunikasi Presiden, Hasan Nasbi, menyatakan bahwa persoalan penetapan pulau adalah kewenangan pemerintah pusat dan meminta masyarakat Aceh “tidak ribut”.
Pernyataan itu mendapat tanggapan tajam dari Rocky Gerung. “Dan konyolnya, dari pihak Istana, yang diwakili oleh Kepala Komunikasi Istana itu, membuat pernyataan yang juga konyol: bahwa keputusan tentang pulau itu, kedaulatannya ada di tangan pemerintah pusat,” ujar Rocky.
Ia menegaskan bahwa meskipun kedaulatan formal memang berada di tangan pusat, masalah ini bukan soal klaim asing, melainkan menyangkut sensitivitas historis dan identitas masyarakat lokal.
“Itu yang menyebabkan kita bisa mulai melihat bahwa negeri ini memerlukan bukan sekadar hukum positif, tetapi kemampuan antropologis untuk membaca hak-hak minoritas, hak masyarakat adat, hak-hak primer yang didasarkan pada situasi historis tertentu,” tambahnya.
Aceh dan Sejarah yang Diperhitungkan
Rocky menekankan pentingnya memahami posisi Aceh secara historis, termasuk kontribusinya dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.
“Sejarah Aceh itu lebih panjang dari NKRI karena kerajaan Aceh sudah ada jauh sebelum NKRI,” ujarnya, seraya mengingatkan bahwa wilayah tersebut pernah menjadi lokasi konflik dan operasi militer yang berat di masa lalu.
Menurut Rocky, ketegangan ini menandakan bahwa negara masih kurang memahami hak-hak tradisional dan sejarah lokal. Ia juga mengingatkan agar pemerintah tidak memandang pulau-pulau tersebut semata dari perspektif administratif.
“Tentu masyarakat Aceh tidak akan mengklaim itu seolah-olah warisan nenek moyang mereka. Tetapi Aceh mengirim sinyal bahwa pemerintah pusat tidak mengerti sejarah Aceh,” tegasnya.
Baca Juga: Kunjungan Pertama Presiden Prabowo Subianto ke Singapura, Bahas Apa?
Solusi Demokratis yang Dinanti
Sejak penandatanganan perjanjian damai Helsinki, Aceh menjalani fase rekonsiliasi dan pembangunan dalam kerangka otonomi khusus.
Namun, kasus empat pulau ini memperlihatkan bahwa luka masa lalu masih membekas, dan pendekatan sentralistik berisiko memicu ketegangan baru.
Rocky menyatakan bahwa penyelesaian yang demokratis dan menghargai kearifan lokal menjadi harapan utama masyarakat Aceh. “Itu yang sekarang sedang ditunggu,” ujarnya.
Keputusan Presiden Prabowo untuk mengembalikan empat pulau ke Aceh dapat dipandang sebagai upaya menjaga harmoni antarwilayah dan merespons keresahan masyarakat lokal secara konstruktif.