Presiden Prabowo Kembalikan Empat Pulau ke Aceh, Abaikan Usulan Gubernur Sumut Bobby Nasution

Rabu 18 Jun 2025, 09:53 WIB
Presiden Prabowo Subianto dalam kunjungan kenegaraan ke Singapura, Minggu, 15 Juni 2025. (Sumber: Instagram/@presidenrepublikindonesia)

Presiden Prabowo Subianto dalam kunjungan kenegaraan ke Singapura, Minggu, 15 Juni 2025. (Sumber: Instagram/@presidenrepublikindonesia)

POSKOTA.CO.ID – Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, memutuskan untuk mengembalikan empat pulau yang sebelumnya dipindahkan kewenangannya ke Provinsi Sumatera Utara.

Pulau-pulau tersebut ditetapkan tetap menjadi bagian dari Provinsi Aceh, setelah sebelumnya menuai protes dari masyarakat setempat. Langkah ini dinilai sebagai bentuk pengakuan atas aspirasi rakyat Aceh yang menolak keputusan Kementerian Dalam Negeri di era Presiden Joko Widodo.

Kala itu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyerahkan kewenangan administratif atas keempat pulau kepada Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, yang juga menantu Presiden Jokowi.

“Ini berarti Presiden lebih mendengar aspirasi rakyat Aceh ketimbang aspirasi Bobby,” kata jurnalis senior Hersubeno Arief dalam perbincangannya bersama pengamat politik Rocky Gerung, dikutip oleh Poskota dari kanal YouTube Rocky Gerung Official pada Rabu, 18 Juni 2025.

Baca Juga: 4 Pulau di Aceh Diisukan Akan Digeser ke Sumatera Utara? Presiden Prabowo Akhirnya Angkat Bicara

Kritik Terhadap Pendekatan Pemerintah Pusat

Langkah pemerintah pusat sebelumnya dikritik oleh berbagai pihak, terutama setelah Kepala Kantor Komunikasi Presiden, Hasan Nasbi, menyatakan bahwa persoalan penetapan pulau adalah kewenangan pemerintah pusat dan meminta masyarakat Aceh “tidak ribut”.

Pernyataan itu mendapat tanggapan tajam dari Rocky Gerung. “Dan konyolnya, dari pihak Istana, yang diwakili oleh Kepala Komunikasi Istana itu, membuat pernyataan yang juga konyol: bahwa keputusan tentang pulau itu, kedaulatannya ada di tangan pemerintah pusat,” ujar Rocky.

Ia menegaskan bahwa meskipun kedaulatan formal memang berada di tangan pusat, masalah ini bukan soal klaim asing, melainkan menyangkut sensitivitas historis dan identitas masyarakat lokal.

“Itu yang menyebabkan kita bisa mulai melihat bahwa negeri ini memerlukan bukan sekadar hukum positif, tetapi kemampuan antropologis untuk membaca hak-hak minoritas, hak masyarakat adat, hak-hak primer yang didasarkan pada situasi historis tertentu,” tambahnya.

Baca Juga: Prabowo Disebut Abaikan Bahlil, Netizen Soroti Momen di Pangkalan Halim, Ada Hubungannya dengan Kontroversi di Raja Ampat?

Aceh dan Sejarah yang Diperhitungkan

Rocky menekankan pentingnya memahami posisi Aceh secara historis, termasuk kontribusinya dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.


Berita Terkait


News Update