POSKOTA.CO.ID - Pada hari Selasa, 10 Juni 2025, suasana belajar di SMPN 1 Karangawen, Demak, Jawa Tengah berubah drastis. Di ruang kelas VII-C, Dumadi yang bertugas sebagai pengawas ujian mendengar suara siulan yang mengganggu ketertiban. Merasa terganggu, ia mencoba mencari sumber suara dengan naik ke atas meja dan memeriksa ventilasi.
Tidak menemukan pelaku, ia secara sepihak menuduh seorang siswa berinisial GAM sebagai pelaku siulan. GAM menolak tuduhan tersebut, namun penyangkalan itu justru memicu kemarahan Dumadi. Dalam video berdurasi 28 detik yang tersebar luas di platform X (dulu Twitter), terlihat Dumadi, mengenakan seragam PNS dan peci hitam, menendang kepala GAM dua kali.
Akibat kekerasan tersebut, GAM mengalami lebam di pipi kiri dan pusing berat, hingga harus dilarikan ke RSUD Sultan Fatah Karangawen. Video tersebut segera viral dan memicu gelombang kecaman dari masyarakat.
Baca Juga: Siapa Orang Tua Gus Azmi? Ini Sosoknya yang Resmi Menikah di Usia 21 Tahun dengan Khansa Mariska
Profil Dumadi: Antara Kedisiplinan dan Kekerasan
Dumadi, 58 tahun, merupakan guru Ilmu Pengetahuan Alam di SMPN 1 Karangawen dan telah mengajar puluhan tahun. Ia dikenal tegas dalam mendidik, tetapi tindakan kekerasan yang terekam kamera itu melampaui batas kewajaran.
Menurut keterangan Kepala Sekolah, Antono, Dumadi selama ini tidak memiliki catatan pelanggaran serius. Namun, insiden ini menjadi noda dalam rekam jejaknya sebagai pendidik. Aksi berdiri di atas meja dan menyerang siswa menggambarkan bentuk intimidasi yang tak bisa ditoleransi dalam dunia pendidikan.
Motif dan Emosi: Saat Teguran Berubah Jadi Kekerasan
Motif utama tindakan Dumadi berasal dari dorongan emosional akibat ketidakpastian sumber siulan. Sebagai pengawas ujian, ia merasa gagal menjaga ketertiban. Namun, reaksi fisik yang dilakukannya tidak hanya mencoreng integritasnya, tetapi juga melanggar hukum.
Kasat Reskrim Polres Demak, AKP Kuseni, menegaskan bahwa Dumadi mengakui perbuatannya. Ia menyatakan bahwa tindakannya dilakukan spontan karena marah. Namun, pihak kepolisian menggarisbawahi bahwa tuduhan terhadap GAM belum terbukti, sehingga kekerasan tersebut tidak memiliki dasar legal maupun moral.
Respons Publik: Suara-suara Keadilan untuk GAM
Video tersebut menyulut reaksi keras dari warganet dan aktivis pendidikan. Tagar seperti #LindungiSiswa dan #StopKekerasanDiSekolah menjadi tren di berbagai media sosial. Netizen mengecam keras tindakan Dumadi, menyebutnya sebagai bentuk penganiayaan, bukan disiplin.
Sejumlah komentar menyayangkan pendekatan hukuman fisik di era pendidikan modern. “Tendang kepala anak itu keterlaluan, masih banyak cara mendidik yang lebih bijak,” tulis akun @bukansosuke.
Aktivis pendidikan dari Demak, Siti Nurjanah, mengatakan bahwa sekolah bukan tempat yang seharusnya membuat siswa takut. “Guru adalah panutan. Sekali figur itu menjadi sumber trauma, dampaknya bisa seumur hidup,” ujarnya.
Tanggapan Resmi Pihak Berwenang
Polres Demak bertindak cepat dengan menerima laporan dari keluarga korban pada malam hari setelah kejadian. Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) langsung menginvestigasi keesokan harinya, memeriksa pelaku, kepala sekolah, serta para saksi.
Sementara itu, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Demak juga tidak tinggal diam. Kepala Dinas, Haris Wahyudi Ridwan, menyatakan telah menurunkan tim untuk investigasi internal. “Kami akan ambil langkah tegas sesuai aturan yang berlaku. Sanksi administratif hingga pemecatan bisa dilakukan,” ujarnya.
Dumadi kini menghadapi kemungkinan sanksi ganda secara administratif dari sekolah dan dinas, serta proses hukum dari aparat kepolisian.
Dampak Psikologis: Luka yang Tak Terlihat
Menurut psikolog anak Dr. Rina Susanti, tindakan seperti ini dapat berdampak jangka panjang terhadap korban. Siswa bisa mengalami trauma psikologis, kehilangan rasa percaya terhadap institusi sekolah, bahkan penurunan motivasi belajar.
“Apalagi jika terjadi di ruang ujian tempat yang sudah cukup memberi tekanan pada siswa. Ditambah lagi kekerasan fisik dari figur otoritatif, dampaknya sangat serius,” jelas Rina.
Ia juga menegaskan bahwa kekerasan dalam pendidikan tidak hanya membahayakan fisik, tetapi merusak fondasi moral anak.
Baca Juga: Modal Gerak Dikit Saldo DANA Gratis Rp135.000 Cair ke Dompet Elektronik! Buktikan Pakai Aplikasi Ini
Solusi dan Refleksi: Waktunya Reformasi Disiplin di Sekolah
Kekerasan di sekolah bukan fenomena baru di Indonesia. Namun, era digital membuat insiden seperti ini semakin terekspos. Penting bagi institusi pendidikan untuk bertransformasi dalam pendekatan kedisiplinan.
Sanksi tegas bagi pelaku harus diiringi dengan pelatihan khusus bagi guru dalam menghadapi situasi menantang secara emosional. Program anti-kekerasan dan pelatihan pengelolaan emosi harus diwajibkan dalam sertifikasi pendidik.
Sekolah juga perlu menyediakan kanal pengaduan bagi siswa agar tidak takut melapor saat terjadi pelanggaran. Keterlibatan komite sekolah, psikolog, dan aparat hukum menjadi kunci dalam menciptakan lingkungan belajar yang aman dan suportif.
Kasus kekerasan oleh Dumadi di SMPN 1 Karangawen menjadi cermin buruknya sistem kedisiplinan konvensional yang masih menggunakan kekerasan. Dari sekadar siulan yang belum terbukti, berkembang menjadi tragedi yang mengakibatkan trauma fisik dan psikologis bagi siswa.
Respons cepat dari publik, media sosial, hingga aparat hukum dan dinas pendidikan menunjukkan bahwa masyarakat kini semakin peka terhadap isu kekerasan dalam pendidikan. Namun, ini tidak cukup jika tidak diiringi langkah nyata dalam pencegahan dan edukasi terhadap para pendidik.
Sekolah harus kembali menjadi ruang aman untuk bertumbuh, bukan tempat anak-anak terluka, baik secara fisik maupun mental. Kasus ini bisa menjadi titik balik perubahan jika benar ditindaklanjuti secara adil dan menyeluruh.