Jessica sendiri dalam dokumenter menyebut bahwa banyak narasi yang beredar selama ini tidak mencerminkan realitas dirinya. Ia membantah tuduhan menyimpan atau menghilangkan bukti, termasuk soal celana panjang yang sempat dikaitkan dengan residu sianida. Dalam wawancara, Jessica menjelaskan bahwa celana tersebut dibuang karena rusak dan tidak relevan dengan kasus yang dituduhkan.
Pandangan Pengacara Indonesia: Fakta Hukum Harus Diutamakan
Pengacara Indonesia Ranto Sibarani menyatakan bahwa publik perlu kembali mengingat bahwa keputusan pengadilan didasarkan pada prosedur hukum yang sah dan bukti yang diverifikasi. Dalam keterangannya kepada media, Ranto menganggap bahwa dokumenter tersebut berisiko menimbulkan kebingungan publik jika tidak menyertakan konteks lengkap proses peradilan Indonesia.
Ranto juga mengingatkan bahwa Jessica merupakan sosok yang sangat berhati-hati dan cerdik dalam mengatur narasi publik. Ia menegaskan bahwa barang bukti seperti celana panjang yang diduga memiliki residu sianida sempat dilaporkan hilang sebelum bisa diperiksa secara forensik.
Menurutnya, teori konspirasi dan simpati berlebihan terhadap terpidana hanya akan mengaburkan prinsip dasar keadilan. Ia menyarankan agar semua pihak menunggu hingga proses hukum banding terakhir benar-benar selesai sebelum memberikan komentar.
Baca Juga: Alasan Kejagung Cekal Dirut Sritex Iwan Kurniawan ke Luar Negeri
Antara Simpati dan Skeptisisme: Publik Terbelah
Sejak awal, kasus ini memang membelah publik dalam dua kubu utama: mereka yang yakin bahwa Jessica tidak bersalah, dan yang percaya bahwa pengadilan sudah mengambil keputusan benar berdasarkan bukti.
Di tengah maraknya konten media sosial dan dokumenter seperti ini, ruang diskusi publik pun kembali terbuka. Beberapa aktivis HAM menilai bahwa sistem peradilan Indonesia masih memiliki tantangan dalam hal transparansi dan ketergantungan pada bukti tidak langsung. Namun, di sisi lain, banyak pula yang berpendapat bahwa pengadilan sudah mengedepankan prinsip kehati-hatian dan prosedur yang akurat.
Kehadiran dokumenter ini, meski menjadi ruang refleksi, juga memicu kekhawatiran soal bagaimana media dapat membentuk opini masyarakat berdasarkan narasi tertentu yang tidak selalu faktual secara hukum.
Meskipun Jessica Kumala Wongso telah menjalani delapan tahun masa hukumannya dan kini berada dalam masa pembebasan bersyarat, babak hukum dan sosial dari kasus ini belum sepenuhnya selesai.
Banding terakhir yang diajukan ke Mahkamah Agung membuka kemungkinan untuk mengkaji ulang aspek-aspek penting dalam penanganan perkara ini.
Publik pun dihadapkan pada pertanyaan besar: apakah narasi media mampu mengubah pemahaman hukum yang telah ditetapkan? Atau justru menjadi bumerang yang memperkeruh kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan?
Apa pun jawabannya, satu hal yang pasti: kasus pembunuhan Mirna Salihin melalui kopi es yang diduga mengandung sianida akan terus menjadi studi kasus penting tentang keadilan, media, dan bagaimana narasi dibentuk serta diwariskan dalam ingatan kolektif masyarakat.