POSKOTA.CO.ID - Surat pemakzulan Gibran yang dikirimkan oleh Forum Purnawirawan TNI ke pimpinan DPR, MPR, dan DPD RI menjadi sorotan publik. Dokumen bertanggal 26 Mei 2025 ini secara spesifik meminta agar segera diproses usulan pemakzulan Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka.
Penandatanganan surat penting ini dilakukan oleh empat jenderal TNI purnawirawan, yaitu Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan, Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto, dan Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR RI Indra Iskandar mengonfirmasi terkait penerimaan surat tersebut dan menyatakan bahwa dokumen itu telah diteruskan ke pimpinan DPR RI.
"Iya benar kami sudah terima surat tersebut, dan sekarang sudah kami teruskan ke pimpinan,” ujar Indra.
Ia menambahkan bahwa tindak lanjut surat pemakzulan Gibran ini sepenuhnya menjadi kewenangan pimpinan DPR RI.
Dasar Konstitusional dan Putusan MK yang Disoroti
Dalam suratnya, Forum Purnawirawan Prajurit TNI secara eksplisit menyatakan bahwa usulan pemakzulan Gibran Rakabuming Raka memiliki dasar konstitusional yang kuat.
Mereka merujuk pada Pasal 7A dan 7B UUD 1945, TAP MPR Nomor XI Tahun 1998, serta sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang (UU) tentang Mahkamah Konstitusi (MK) dan Kekuasaan Kehakiman.
Poin krusial yang diangkat adalah bahwa Gibran memperoleh tiket pencalonan melalui putusan MK yang cacat hukum, yaitu Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Para purnawirawan menilai putusan tersebut melanggar prinsip imparsialitas karena diputus oleh Ketua MK saat itu, Anwar Usman, yang notabene adalah paman Gibran.
Baca Juga: Presiden Prabowo dan Wapres Gibran Bakal Dapat Gaji ke-13, Ini Besarannya
“Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 terhadap pasal 169 huruf Q Undang-Undang Pemilu seharusnya batal demi hukum karena Anwar Usman tidak mengundurkan diri dari majelis hakim, padahal memiliki konflik kepentingan,” demikian tegas isi surat tersebut.
Forum ini juga mengutip putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang menyatakan Anwar Usman melanggar kode etik hakim dan memberhentikannya dari jabatan Ketua MK.
Ironisnya, hingga kini putusan MK tersebut belum pernah diperiksa ulang dengan majelis hakim yang berbeda, padahal hal ini diatur dalam Pasal 17 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Baca Juga: Forum Purnawirawan TNI Desak Pemakzulan Gibran, Try Sutrisno Restui Surat ke DPR
Etika serta Kapasitas Jadi Sorotan
Selain aspek hukum, Forum Purnawirawan Prajurit TNI juga menilai Gibran tidak pantas menjabat sebagai Wakil Presiden dari sisi kepatutan dan etika.
Mereka menyoroti kapasitas dan pengalaman Gibran yang minim, dengan hanya menjabat Wali Kota Solo selama dua tahun, serta latar belakang pendidikan yang dinilai diragukan.
“Dengan kapasitas dan pengalaman yang sangat minim, hanya dua tahun menjabat Wali Kota Solo, serta latar belakang pendidikan yang diragukan, sangat naif bagi negara ini memiliki Wakil Presiden yang tidak patut dan tidak pantas,” bunyi keterangan dari surat tersebut.
Para purnawirawan TNI juga secara spesifik menyinggung kontroversi akun media sosial “fufufafa” yang sempat marak diperbincangkan.
Baca Juga: Jokowi Dinilai Makin Terdesak, Desakan Pemakzulan Gibran dan Kontroversi Ijazah Terus Menguat
Akun tersebut diduga memiliki keterkaitan dengan Gibran dan menjadi sorotan karena unggahan-unggahannya yang mengarah pada penghinaan tokoh publik, serta mengandung unsur seksual dan rasisme.
“Dari kasus tersebut, tersirat moral dan etika Sdr. Gibran sangat tidak pantas dan tidak patut untuk menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia,” jelas isi surat tersebut.
Tak hanya itu, dugaan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang diduga melibatkan Gibran dan Kaesang kembali disebut.
Sebelumnya, kasus dugaan KKN ini dilaporkan ke KPK pada tahun 2022 oleh Ubedilah Badrun, seorang akademisi.
Forum Purnawirawan mendesak agar DPR memproses usulan pemakzulan Gibran sesuai dengan kontitusi dan hukum yang berlaku.
“Demikian surat ini kami sampaikan sebagai wujud tanggung jawab warga negara dalam menjaga integritas konstitusi dan moralitas publik,” tutup surat tersebut.