POSKOTA.CO.ID - Kasus kekerasan di lingkungan pesantren kembali mencuat ke permukaan. Sebanyak 13 orang, terdiri dari 9 dewasa dan 4 anak di bawah umur, telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kekerasan di Pondok Pesantren Ora Aji.
Namun, hingga kini, belum ada satupun yang ditahan karena pihak yayasan mengajukan penangguhan penahanan. Keluarga korban berharap keadilan dapat ditegakkan dan para pelaku segera diproses hukum.
Pondok pesantren, sebagai lembaga pendidikan berbasis agama, memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan moral generasi muda.
Namun, kasus kekerasan yang terjadi di beberapa pesantren belakangan ini menimbulkan kekhawatiran akan keselamatan dan kesejahteraan para santri. Salah satu kasus yang mencuat adalah di Pondok Pesantren Ora Aji, di mana 13 orang telah ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan kekerasan terhadap santri.
Baca Juga: Pembaruan Feed Instagram, Inilah Perbedaan Format 1:1 dan 3:4, Simak Selengkapnya untuk Optimalisasi
Kronologi Kasus
Melansir dari Instagram @nyinyir_update_official, ketua tim kuasa hukum KDR, Heru Lestarianto, mengungkapkan bahwa 13 orang yang terdiri dari 9 dewasa dan 4 anak di bawah umur telah ditetapkan sebagai tersangka. Namun, belum ada satupun yang ditahan karena pihak yayasan mengajukan penangguhan penahanan.
Keluarga korban berharap kasus ini dapat dituntaskan segera dan para pelaku diadili. Mereka menilai bahwa pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan seharusnya mengedepankan pembinaan agama, bukan membiarkan kekerasan terjadi di lingkungannya.
Respons Pihak Yayasan
Permintaan maaf atas kejadian ini disampaikan oleh Miftah melalui ketua yayasan Ponpes Ora Aji. Adi Susanto, kuasa hukum yayasan, menyatakan bahwa musibah ini merupakan pukulan bagi pondok pesantren. Namun, ia juga menyebut bahwa tudingan terhadap korban terlalu didramatisasi.
Adi menjelaskan bahwa 'pelajaran moral' diberikan setelah KDR mengakui bertanggung jawab atas kasus vandalisme, kehilangan harta benda di kalangan santri, hingga penjualan air galon tanpa sepengetahuan pengelola ponpes.
Tantangan Penegakan Hukum
Kasus ini menyoroti tantangan dalam penegakan hukum terhadap kekerasan di lingkungan pesantren. Penangguhan penahanan terhadap tersangka menimbulkan pertanyaan tentang perlakuan hukum yang adil dan perlindungan bagi korban.
Selain itu, kasus serupa juga terjadi di berbagai pesantren lain, menunjukkan perlunya sistem pengawasan dan penegakan hukum yang lebih efektif.
Peran Pemerintah dan Pengawasan Pesantren
Pengamat pesantren dari Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, Prof. Dr. Muhammad Tohir, menyebut bahwa tindak kekerasan di pesantren disebabkan oleh keteledoran dan kurangnya sistem untuk memantau serta memitigasi terjadinya kekerasan.
Ia menekankan pentingnya layanan yang ramah santri dan pengawasan yang terbuka bagi masyarakat. Selain itu, banyak pesantren yang tidak memiliki izin dari Kementerian Agama, sehingga pengawasan menjadi lemah.
Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Sarmidi Husna, juga menekankan bahwa setiap pesantren harus memiliki izin operasional. Pesantren yang tidak memiliki izin dianggap ilegal dan tidak dapat diawasi oleh pemerintah, sehingga jika terjadi kekerasan, pesantren tersebut tidak bisa diminta pertanggungjawaban.
Kasus kekerasan di Pondok Pesantren Ora Aji menyoroti perlunya penegakan hukum yang tegas dan sistem pengawasan yang efektif terhadap pesantren.
Pemerintah, melalui Kementerian Agama, harus memastikan bahwa semua pesantren memiliki izin operasional dan diawasi secara ketat untuk mencegah terjadinya kekerasan.
Selain itu, penting bagi pesantren untuk mengedepankan pembinaan moral dan spiritual yang sesuai dengan nilai-nilai agama, serta menciptakan lingkungan yang aman dan ramah bagi para santri.