POSKOTA.CO.ID - PT Maruwa Indonesia, perusahaan asing asal Jepang yang telah berkiprah di Kota Batam sejak 1999, resmi menghentikan seluruh kegiatan produksinya pada awal April 2025.
Perusahaan yang bergerak di bidang Flexible Printed Circuit (FPC) ini sebelumnya menjadi salah satu penopang sektor industri manufaktur elektronik di wilayah tersebut.
Keputusan penghentian operasional disampaikan tanpa pemberitahuan resmi kepada para karyawan. Sejumlah pekerja bahkan mengaku baru mengetahui informasi tersebut secara lisan pada 9 April 2025, bertepatan dengan diliburkannya mereka tanpa kepastian waktu maupun kejelasan status ketenagakerjaan.
Baca Juga: 3 Jalur Resmi Ibadah Haji di Indonesia, Intip Kelebihan dan Perbedaannya di Sini!
Akar Masalah: Terhentinya Pasokan dari Malaysia
Penyebab utama dihentikannya produksi disebut berasal dari gangguan suplai bahan baku dari perusahaan mitra di Malaysia, yang selama ini menjadi penyuplai utama jalur produksi PT Maruwa Indonesia. Tanpa bahan mentah, proses manufaktur FPC otomatis lumpuh.
Namun, karyawan menduga bahwa penghentian ini bukan hanya disebabkan oleh alasan logistik semata. Dugaan menguat bahwa perusahaan secara strategis mengalihkan lini produksi ke luar negeri, terutama ke Jepang, dengan mengabaikan hak-hak pekerja lokal.
Pekerja Terombang-Ambing, Gaji dan Pesangon Tak Kunjung Dibayar
Sebanyak 205 karyawan terdampak langsung, yang terdiri dari 49 pekerja permanen dan 156 pekerja kontrak. Mereka diliburkan tanpa bayaran, sementara gaji terakhir yang dijanjikan belum dibayarkan. Persoalan semakin pelik ketika pihak manajemen hanya menyampaikan rencana penutupan secara verbal, tanpa dokumen tertulis ataupun mekanisme resmi sesuai ketentuan undang-undang ketenagakerjaan.
Seorang karyawan, yang enggan disebutkan namanya, menyampaikan bahwa hak normatif seperti pesangon, gaji tertunda, dan kompensasi lain belum dijelaskan secara transparan.
“Kami tidak tahu nasib kami ke depan. Gaji belum dibayar, pesangon tidak jelas,” ungkapnya.
Dinas Ketenagakerjaan dan Polisi Turun Tangan
Melihat gejolak yang terus membesar, Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Kota Batam bersama Polsek Batuaji turun tangan untuk melakukan proses mediasi. Kepala Disnaker Batam, Rudi Syakiakirty, menyatakan bahwa pihaknya sedang berupaya memfasilitasi penyelesaian antara pihak manajemen dan perwakilan pekerja.
“Benar, perusahaan ini sudah tidak melakukan produksi. Sekarang kami sedang memediasi,” ujarnya pada Jumat, 16 Mei 2025.
Namun hingga artikel ini disusun, mediasi belum mencapai kesepakatan. Manajemen hanya menawarkan pesangon sebesar 0,5 kali masa kerja (0.5N) nilai yang jelas-jelas jauh di bawah standar yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dana Cadangan Ada, Tapi Tak Dicairkan
Sumber internal perusahaan dari bagian keuangan menyebut bahwa dana cadangan untuk pesangon dan pensiun sebenarnya telah disiapkan. Namun belum ada informasi jelas mengapa dana tersebut belum direalisasikan. Hal ini menambah ketegangan antara karyawan dan manajemen.
Karyawan juga menuding perusahaan menunggak iuran BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, yang seharusnya menjadi hak dasar pekerja aktif dan pensiunan.
Material Produksi Dialihkan ke Jepang: Produksi Berlanjut?
Yang membuat karyawan semakin geram, beredar informasi bahwa material produksi telah dipindahkan ke Jepang, menandakan bahwa produksi kemungkinan besar tetap berjalan hanya saja bukan lagi di Indonesia. Dugaan ini semakin memperkuat asumsi bahwa penutupan operasional cabang Batam dilakukan secara sepihak dan disengaja.
HRD PT Maruwa Indonesia, Sumanti, tak membantah bahwa terjadi persoalan internal. Namun, ia memastikan bahwa mediasi masih berlangsung dan belum menemukan titik final.
“Kami masih berusaha menyelesaikan hak-hak karyawan, ini belum final,” ujarnya kepada media lokal.
Baca Juga: Tetap Tenang dalam Kondisi Tekanan Gagal Bayar Pindar, Begini Solusi Jitu Menghadapinya
Pelanggaran Potensial Terhadap UU Ketenagakerjaan
Jika benar manajemen melakukan penutupan tanpa perundingan bipartit maupun tripartit, serta membayar pesangon di bawah ketentuan, maka tindakan ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap peraturan ketenagakerjaan Indonesia.
Mengacu pada Pasal 156 dan Pasal 164 UU Ketenagakerjaan, pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) karena penutupan perusahaan berhak atas:
- Uang pesangon minimal 1 kali ketentuan masa kerja (1N)
- Uang penghargaan masa kerja (UPMK)
- Uang penggantian hak (UPH)
Dengan hanya menawarkan 0,5N, perusahaan bisa menghadapi sanksi administratif hingga tuntutan pidana dari pekerja yang dirugikan.
Harapan Terakhir Ada pada Pemerintah Kota
Para pekerja kini menaruh harapan besar kepada Pemerintah Kota Batam agar benar-benar mengawal proses penyelesaian ini secara tegas dan berpihak pada keadilan. Tak hanya dalam mediasi, tetapi juga dalam penegakan hukum jika ditemukan unsur pelanggaran undang-undang.
Jika tidak, kasus PT Maruwa Indonesia bisa menjadi preseden buruk di mata investor maupun buruh industri, sekaligus mengancam ekosistem hubungan industrial di kawasan Batam sebagai kawasan ekonomi khusus (KEK).
Penutupan PT Maruwa Indonesia memperlihatkan kompleksitas dalam manajemen industri lintas negara, terutama ketika terjadi gangguan rantai pasok global. Namun demikian, tanggung jawab perusahaan terhadap pekerja lokal tetap tidak boleh diabaikan.
Pemerintah, serikat buruh, dan otoritas hukum perlu memperkuat pengawasan terhadap praktik-praktik pengalihan produksi dan pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai prosedur. Kejadian ini harus menjadi alarm penting bagi pelaku industri untuk tetap mengedepankan etika bisnis dan keadilan sosial.