Program Dedi Mulyadi Kirim Anak Kecanduan Gim ke Barak Militer Bukan Solusi

Selasa 20 Mei 2025, 09:05 WIB
Potret Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi saat bersama siswa di barak militer. (Sumber: Instagram/@dedimulyadi71)

Potret Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi saat bersama siswa di barak militer. (Sumber: Instagram/@dedimulyadi71)

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Usulan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi yang menginginkan anak-anak masuk barak militer karena terlalu sering bermain gim menjadi pro kontra di masyarakat.

Pegiat Literasi Digital Next Generation (NXG) Indonesia, Fikri Andhika, mengatakan, ide yang dilontarkan Gubernur Jawa Barat itu memang bisa menjadi terapi kejut bagi anak-anak yang kecanduan gim.

Namun Fikri menilai solusi yang ditawarkan Dedi itu bukan jawaban jangka panjang. Apalagi gim di era digital ini sudah bisa menjadi profesi yang ditekuni.

Baca Juga: Daftar Klub yang Telah Lolos ke Liga Champions Eropa 2025-26, Manchester City dan Juventus Belum Pasti

"Gim seperti pisau di dapur, tak pernah punya niat baik atau buruk. Ia hanya alat. Dan seperti alat lainnya, ia bergantung pada tangan yang memegang, serta pemahaman yang melingkupinya," ujar Fikri, Selasa, 20 Mei 2025.

Menurutnya, banyak anak Indonesia yang sudah sukses di panggung dunia berkat kemahiran bermain gim atau dikenal E-Spots. Industri gim juga sudah menjadi ladang subur bagi tumbuhnya ekonomi kreatif.

"Anak-anak muda kini bermimpi menjadi game developer, caster, atau content creator. Profesi-profesi yang sepuluh tahun lalu nyaris tak terbayangkan," katanya.

Fikri menyebut, dampak negatif dari gim juga tentu ada. Ketika bermain melampaui batas, saat itulah gim berubah menjadi candu.

Baca Juga: Viral Kades di Lampung Ketahuan Korupsi Bansos, Warga Beraksi Bakar Rumah dan Mobil Rubicon

Namun ia menyoroti jika bukan pada gim letak masalahnya. Melainkan pada pola konsumsi dan kurangnya pemahaman.

"Dalam riset global, rata-rata waktu bermain yang sehat untuk anak dan remaja berkisar antara 1 hingga 2 jam per hari. Melebihi itu, risiko muncul dari kurang tidur, prestasi akademik menurun, hingga gangguan emosi," ucapnya.

Tapi menariknya, semua dampak buruk itu nyaris selalu berakar dari satu hal yakni kurangnya pendampingan. Orang tua tak bisa lagi sekadar melarang, ereka perlu hadir.

"Gim bukan sekadar soal menang atau kalah, hidup atau mati. Ia menyimpan narasi, seni, logika, bahkan empati. Sebagaimana buku dan film, ia bisa menjadi alat pembelajaran yang ampuh jika dimaknai bersama," ujarnya.

Ia menilai ketimbang mengirim anak ke barak militer yang hanya jadi solusi jangka pendek, lebih baik memberi ruang belajar pada orang tua.

"Ruang yang mengajarkan cara menemani anak bermain gim dengan bijak. Yang membantu mereka memahami mana gim yang mendorong kerja sama, kreativitas, dan refleksi dan mana yang sekadar menguras waktu," katanya.

Literasi digital bukan hanya tanggung jawab guru atau pemerintah. Tetapi tanggung jawab bersama yang perlu menjadi perhatian.

"Karena di balik layar yang mereka tatap, anak-anak kita sedang membentuk dunia baru mereka. Bukan tugas kita untuk mematikannya, melainkan membimbingnya agar menyala dengan terang dan arah yang benar," ucapnya.


Berita Terkait


News Update