JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - BPS DKI Jakarta mencatat sebanyak 445 Rukun Warga (RW) di ibu kota tergolong sebagai kawasan permukiman kumuh.
Menanggapi hal ini, pakar global health security dari Griffith University dan Universitas YARSI, Dicky Budiman, memperingatkan adanya risiko kesehatan serius yang bisa muncul, bahkan berpotensi menimbulkan konflik sosial.
“Risiko langsung itu berupa penyakit menular seperti diare, kolera, tifus, leptospirosis, tuberculosis (TB), hingga penyakit kulit. Ini akibat sanitasi yang buruk, keterbatasan air bersih, dan pengolahan limbah yang tidak memadai,” kata Dicky saat dihubungi Poskota, Jumat , 16 Mei 2025.
Baca Juga: DPRKP Sebut Penataan 55 RW Kumuh di Jakarta Sudah Dimulai
Selain penyakit fisik, Dicky menyebut risiko tidak langsung mencakup gangguan gizi dan kesehatan mental akibat tekanan ekonomi dan lingkungan yang padat.
“Lingkungan yang padat, tekanan ekonomi, dan risiko kekerasan bisa memicu stres dan gangguan psikologis, terutama pada anak-anak dan ibu,” jelasnya.
Buruknya pengelolaan limbah padat dan cair di kawasan kumuh juga bisa mencemari tanah, sungai, dan udara yang berdampak pada seluruh warga Jakarta. Selain itu, banyak kawasan kumuh berada di lokasi rawan banjir dan longsor, yang memperparah risiko bencana.
“Ini bukan hanya soal kesehatan, tapi juga potensi ketimpangan dan konflik sosial yang makin melebar,” ujar Dicky.
Sebagai solusi, Dicky menekankan pentingnya komitmen pemerintah dalam menyediakan infrastruktur dasar seperti air bersih, sanitasi, drainase, dan listrik yang aman.
Baca Juga: DPRD Desak Pemetaan Ulang 445 RW Kumuh di Jakarta
“Dalam penyediaan air bersih, sanitasi, drainase, dan juga termasuk listrik yang aman di daerah sini. Kemudian juga pengelolaan limbah yang efektif ini menjadi sangat penting khususnya untuk pengelolaan sampah, domestik, ya limbah cair yang juga harus memadai untuk mencegah pencemaran,” katanya.