Kasus TBC di Jakarta Meningkat, Pengamat Kesehatan Minta Pemerintah Lakukan Ini

Kamis 15 Mei 2025, 13:54 WIB
Pengamat kesehatan sekaligus pakar global health security dari Griffith University dan Yarsi University, Dicky Budiman. (Sumber: Dok. Pribadi)

Pengamat kesehatan sekaligus pakar global health security dari Griffith University dan Yarsi University, Dicky Budiman. (Sumber: Dok. Pribadi)

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Pengamat kesehatan sekaligus pakar global health security dari Griffith University dan Yarsi University, Dicky Budiman meminta pemerintah terkhusus Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk melakukan sejumlah upaya dalam menurunkan angka kasus penyakit tuberkulosis (TBC).

Salah satunya, peningkatan kewaspadaan bagi para pasien pengidap TBC. "Sarannya yang dapat dilakukan oleh Jakarta dan Indonesia adalah kembali ke peningkatan deteksi kasus aktif," ucap Dicky saat dihubungi Poskota, Kamis, 15 Mei 2025.

Selain itu, Dicky meminta pemerintah untuk perluas akses tes JenEkspert atau kultur MTB di semua puskemas. Serta, melakukan pelatihan kepada para tenaga kesehatan (nakes) agar mereka dapat mendeteksi penyakit ini.

"Termasuk menggunakan teknologi digital untuk tracing kontak seperti aplikasi seperti itu," kata Dicky.

Baca Juga: Kasus TBC di Jakarta Tinggi, Pramono Kerahkan Pasukan Putih

Dicky menyebut, pemerintah juga perlu membuat aplikasi pengingat minum obat bagi para pengidap TBC tersebut.

"Yang juga perlu dilakukan adalah meningkatkan kepatuhan minum obat bagi pasien TBC ini dengan menggunakan teknologi seperti aplikasi pengingat obat dan lain sebagainya," ucapnya.

"SMS reminder juga perlu ada dukungan dengan pengawas minum obat misalnya atau dukungan juga grup sosial dan psikologis untuk si pasien," sambungnya.

Dicky menyebut, pemerintah harus membantu memberikan insentif finansial untuk pasien yang telah menyelesaikan pengobatan TBC ini.

"Karena mereka kan nggak bisa bekerja, nggak produktif atau umumnya juga orang miskin ini yang juga bisa menjadi pendukung untuk keberhasilan pengobatan," ujarnya.

Dicky menyampaikan, hal lain yang juga harus dilakukan adalah penguatan sistem pelaporan dan data. "Dengan cara mengintegrasikan data pasien TBC dengan rekam medis elektronik untuk deteksi real time juga penggunaan dashboard berbasis data untuk monitoring dan evaluasi," ujar Dicky.

Dicky mengungkapkan, pemerintah harus melakukan pendekatan berbasis komunitas bagi para pengidap TBC itu.

"Misalnya adanya program Desa Siaga TBC ini yang harus diperluas untuk menjangkau komunitas terpinggirkan, Juga dengan pelibatan atau melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama atau organisasi sosial, LSM untuk mengurangi stigma juga dan juga meningkatkan peran aktif masyarakat," katanya.

Dicky menyebut, termasuk juga kepatuhan dalam meminum obat dan fokus pada populasi rentan di pemukiman padat penduduk.

"Jadi prioritaskan screening di kelompok risiko tinggi termasuk tunawisma, penghuni lapas, pekerja migran, dan juga perlu asupan vaksinasi BCG ini untuk balita atau bayi," ujarnya.

"Dan tentu antara lain juga kita harus terlibat dalam investasi riset dan vaksin baru, yang ini tentu bisa mengisi kekosongan proteksi pada remaja dan dewasa."

Hal lain yang juga tidak kalah penting dan perlu dilakukan adalah pengendalian faktor risiko dengan perketat regulasi anti merokok.

"Tingkatkan akses nutrisi bagi kelompok rentan, termasuk juga kampanye masif tentang bahaya rokok dan pentingnya nutrisi seimbang termasuk juga sanitasi yang baik, ventilasi sirkulasi di rumah, perkantoran, gedung, sekolah itu juga hal yang penting," katanya.

Terakhir, Dicky meminta pemerintah untuk memberikan dukungan finansial dan infrastruktur yang memadai.

"Jadi alokasi anggaran ini harus cukup untuk pengendalian TBC baik itu APBD atau APBN. Dan ini yang akan meningkatkan sumber dayanya termasuk kapasitas laboratorium dan fasilitas kesehatan primitif," ujar dia. (cr-4)


Berita Terkait


News Update