Meski tidak dapat dihukum secara pidana, anak tersebut tetap dibawa ke pihak kepolisian untuk dilakukan pembinaan dan asesmen psikologis.
Langkah ini penting guna memastikan apakah terdapat gangguan perilaku atau trauma yang mendasari tindakannya.
Polsek Citamiang memastikan bahwa proses pemeriksaan dilakukan sesuai prosedur hukum anak. Pendampingan psikolog dan petugas dari Dinas Sosial telah dikerahkan.
Banyak pihak menilai bahwa kasus ini menjadi “wake-up call” bagi seluruh elemen masyarakat. Perlindungan anak tidak boleh hanya bersifat simbolik, melainkan konkret melalui regulasi media, kontrol keluarga, dan sistem edukasi.
Sementara itu, warga terdampak terus meminta perhatian dari pemerintah daerah dalam bentuk bantuan penginapan sementara, pemulihan trauma, dan kompensasi atas kerugian material.
Tragedi ini mengingatkan kita bahwa anak-anak bukan hanya subjek yang harus dilindungi, tetapi juga bisa menjadi pelaku jika tidak diarahkan dengan benar.
Kasus bocah 9 tahun di Sukabumi menjadi bukti nyata bahwa era digital dan ketidakhadiran pengawasan orang tua dapat berakibat fatal.
Penting untuk menanggapi kasus ini dengan pendekatan yang komprehensif menggabungkan hukum, psikologi, edukasi, dan keterlibatan sosial agar keadilan tidak hanya hadir bagi korban, tetapi juga membentuk masa depan yang lebih aman bagi anak-anak Indonesia.