Komentar warganet pun ramai di unggahan viral tersebut. Beberapa menyoroti pentingnya tanggung jawab orang tua, sementara yang lain menuntut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk lebih sigap dalam menangani isu-isu anak berisiko tinggi.
“Suruh orang tuanya ganti rugi,” tulis akun @Sari.
“KPAI tanggung jawab yang lebih urgent. Bukan ngurusin orang yang berbuat baik dicari kesalahannya,” ujar @Mas Tronika.
“Kayaknya si anak punya dendam sama masyarakat,” tambah akun lain.
Dimensi Psikologis: Anak sebagai Pelaku Kejahatan
Dalam konteks hukum dan psikologi anak, kasus ini termasuk kategori tindak pidana oleh anak di bawah umur yang memerlukan penanganan khusus.
Menurut UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU No. 11 Tahun 2012), anak di bawah usia 12 tahun tidak dapat diproses secara pidana, namun wajib mendapatkan rehabilitasi sosial dan bimbingan dari negara.
Psikolog anak, dr. Lely Nurhidayati, M.Psi., menyatakan bahwa aksi tersebut bisa jadi merupakan bentuk imitasi agresi.
“Anak usia 9 tahun sedang berada pada fase konkret operasional menurut Piaget. Mereka meniru apa yang dilihat tanpa memahami konsekuensinya,” ujarnya.
Peran Orang Tua dan Pemerintah dalam Pencegahan
Kejadian ini membuka ruang refleksi mengenai kurangnya pengawasan terhadap aktivitas anak, terutama dalam mengakses konten digital.
Tanpa pendampingan yang memadai, anak dapat dengan mudah menginternalisasi kekerasan sebagai hal yang ‘normal’.
Pemerintah daerah bersama KPAI dan lembaga pendidikan diminta untuk segera menginisiasi edukasi literasi digital dan pengasuhan positif kepada orang tua. Pemerintah juga didorong membentuk tim khusus penanganan anak berisiko untuk mencegah kejadian serupa terulang.