Tak ingin menjadi beban keluarga, Ismail terus memacu semangatnya untuk lebih mandiri dan terus produktif.
Sejumlah profesi pun pernah ia geluti dengan tidak mudah, seperti menjadi petugas kebersihan panggilan, bekerja di toko roti, hingga akhirnya menemukan tempat yang memberinya ruang untuk berkembang menjadi seorang barista di bawah naungan Difabel Bisa (Difabis).
Difabis sendiri merupakan inovasi sosial yang lahir dari kolaborasi Pusat Pelatihan Kerja Daerah (PPKD) Jakarta Pusat dan BAZNAS BAZIS DKI Jakarta. Gerai ini bukan sekadar tempat berjualan kopi, tetapi juga rumah bagi para difabel yang kerap tersingkir dari dunia kerja formal.
“Awalnya kami hanya memberi bantuan atau santunan kepada para penyandang disabilitas. Tapi kemudian kami sadar, bantuan seperti itu tidak cukup. Mereka butuh pekerjaan, ruang untuk berkembang,” jelas Jihan (30 tahun), perwakilan dari BAZNAS yang turut mengawasi jalannya bisnis sosial ini.
Ide itu berasal dari Wakil Ketua II BAZNAS, Saat Suharto Amjad. Bersama tim, mereka menggagas pelatihan, sertifikasi, hingga penempatan kerja untuk para difabel. Setelah melalui proses seleksi dan pelatihan, mereka yang dinilai siap akan diberi kesempatan bekerja di Difabis.
Awalnya Difabis ini berasal dari daerah Kendal, hingga akhirnya bisa terwujud di daerah Jakarta melalui dukungan BAZNAS Jakarta yang didukung oleh Pemprov Jakarta.
Menurut Ismail, bekerja di Difabis bukan hanya memberikannya sekadar pekerjaan. Di sana, ia menemukan teman-teman yang menerima dan memahami dirinya. Wahyu dan Jihan bahkan rela belajar bahasa isyarat agar bisa berkomunikasi lebih baik dengannya.
“Diajarin pelan-pelan, tapi semangat Ismail luar biasa. Dia cepat tanggap, dan selalu mau belajar hal baru,” kata Wahyu.
Salah satu momen paling mengesankan bagi Ismail adalah ketika ada pelanggan yang juga bisa bahasa isyarat.
“Rasanya senang sekali bisa ngobrol tanpa hambatan. Itu jarang terjadi,” ungkapnya melalui Wahyu dengan mata berbinar.
Bagi Ismail, setiap cangkir kopi yang ia racik bukan hanya sekedar minuman, namun itu adalah simbol perjuangan bahwa ia mampu. Dan menjadi seorang difabel bukan alasan untuk dikasihani, tapi untuk diberdayakan.