Pencalonan presiden-wapres melalui mekanisme ambang batas (Presidential Threshold), mengharuskan parpol membangun koalisi.
Tanpa koalisi, hanya satu parpol (PDIP) yang memenuhi syarat untuk mengajukan paslon capres-cawapresnya.
Delapan parpol parlemen lainnya, mau tidak mau harus berkoalisi agar memenuhi sedikitnya 115 jumlah kursi di DPR sebagai syarat ambang batas.
Jika bicara koalisi, tak bisa lepas dari dagang sapi, bagi-bagi kursi sesuai dengan porsinya.
Meski tidak ada kontrak politik secara tertulis, tetapi fakta dari pemilu ke pemilu, dapat kita rasakan dan saksikan.
Bahkan, adanya penyebutan parpol koalisi pendukung pemerintahan dan parpol oposisi, makin menegaskan adanya power sharing.
Apalagi acap mencuat komentar, parpol yang tidak mendukung pemerintahan lagi, sebaiknya keluar dari kabinet, meski kontrak politiknya untuk mengawal pemerintahan hingga akhir periode.
Dalam sistem pemilihan capres-cawapres secara langsung, sementara kandidat ditentukan oleh parpol, sejatinya kontrak politik sangatlah diperlukan.
Parpol pengusung hendaknya membuat kontrak politik kepada paslon yang diusung.
Tentu kontrak politik dengan komitmennya membangun bangsa dan negara dengan mensejahterakan dan memakmurkan rakyatnya.
Menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana tujuan negeri ini didirikan.
Mengayomi dan melindungi seluruh rakyat tanpa kecuali, tanpa diskriminasi, tanpa pembedaan perlakuan, tanpa melihat latar belakang dukungan dan aspirasi politiknya.