Jika dalam bisnis saja, terdapat etika yang dipatuhi semua, mestinya dalam berdemokrasi untuk membangun bangsa dan negara, hendaknya lebih mengedepankan etika, ketimbang ego politik kelompoknya.
Memang etika tidak diatur dalam berdemokrasi. Dalam pilpres, pileg dan pilkada hanya diatur aturan main dalam kampanye. Soal etika diserahkan kepada para pelakunya.
Itu pula mengapa, bakal calon presiden yang menggunakan masjid sebagai bagian aktivitas, rajin mengunjungi masyarakat, tidak dapat dikenakan sanksi karena bukanlah pelanggaran. Tidak disebut kampanye, karena memang belum masanya kampanye. Kalau disebut curi start dan sebagainya, itu hanya soal etika yang terkait dengan moral.
Menjadi urusan etika pula, jika ada pihak – pihak yang mencoba memproduksi keburukan, mengemas kebencian dan permusuhan kepada lawan politiknya dengan membeberkan aib keluarga masa lalu yang tak ada hubungannya sama sekali dengan rekam jejak.
Menggiring opini agar terbangun beragam prasangka yang dapat mengurangi tingkat kepercayaan publik kepada kandidat lawan, hendaknya ditinggalkan.
Tidak terbantahkan bahwa perkembangan demokrasi sejak era reformasi begitu pesat dan melesat. Tetapi, kita tentu tak ingin di era kini, jelang pilpres, kebablasan.
Ini menjadi tantangan kita bersama bagaimana memagari perkembangan demokrasi tidak keluar dari ruhnya. Tidak melenceng dari pijakan awal berdirinya negeri ini sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, negara yang berkedaulatan dalam bingkai NKRI.
Mencegah penyimpangan demokrasi menjadi semakin penting seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom”Kopi Pagi” di media ni.
Dalam era digital, dengan kian beragamnya media sosial yang tanpa batasan ruang dan waktu, tanpa sekat sosial, memberi peluang setiap orang mengungkap pendapatnya kepada publik.
Kondisi ini ikut membentuk praktik demokrasi sehari –hari, termasuk dalam menyikapi kian menghangatnya situasi jelang Pilpres 2024.
Kini, peluang menyatakan pendapat lebih terbuka, hak mengoreksi dan mengkritisi tidak dibatasi. Menjadi bermasalah, jika rujukan yang digunakan narasi keburukan, yang kemudian dikemas menjadi beragam prasangka buruk.
Karenanya, elite politik hendaknya meneladani dengan mengemas narasi penuh etika guna menguatkan persatuan dan kesatuan. Bukan memproduksi kebencian dan permusuhan yang mendulang perpecahan.