Ini perlu disiapkan dari awal, dari level paling bawah, di tataran akar rumput karena di sanalah sejatinya aspirasi rakyat. Di sana pula kaderisasi hendaknya dimulai.
Ada filosofi seorang pemimpin yang baik adalah mereka yang lahir dari “rahim” rakyat, tumbuh dan berkembang bersama rakyat.
Mereka inilah yang mengetahui denyut nadi rakyat, tahu persis derita rakyat, kebutuhan rakyat, lebih tahu solusi jitu mengangkat harkat dan martabat rakyat, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini..
Jika mereka kader parpol adalah yang merangkak dari bawah, sehari – hari bergaul bersama rakyat, paham betul kebutuhan riil masyarakat, ikut serta membantu menyelesaikan problema rakyat.
Karena lahir dan besar bersama rakyat, maka sudah dikenal cukup baik oleh rakyat. Sudah teruji. Jika maju sebagai sebagai caleg atau calon kepala daerah tidak perlu lagi biaya tinggi karena telah meraih simpati. Boleh jadi, rakyat akan sukarela mengawal pemilu yang jurdil dari TPS hingga hasil akhir.
Ingat! Masyarakat semakin cerdas memilih calon pemimpin yang amanah. Karenanya, bukan saatnya lagi parpol masih tergiur kader “ujug – ujug” karena berhambur fasilitas, membawa banyak tas, meski minim kualitas dan loyalitas.
Jika sistem rekrutmen mengabaikan kualitas dan loyalitas, tak ubahnya membuka peluang praktik politik uang dalam pemilu, baik pilpres, pileg maupun pilkada.
Calon minim kualitas, tetapi memiliki ‘banyak tas’ akan menggunakan isi tasnya untuk menutupi kekurangannya, kelemahan substantif dari kualitasnya.
Kemampuan fasilitas itulah yang dipergunakan pula untuk politik transaksional, saat pemilu.
Berpolitik adalah hak setiap warga negara.Menjadi kader partai, calon pemimpin di legislatif maupun eksekutif, di level manapun, juga menjadi hak setiap warga negara.
Menjadi kader parpol, berarti siap menjadi calon pemimpin bangsa.Berarti pula perlu menyiapkan atas kemampuan yang dimiliki. Setidaknya memiliki kapabilitas,akseptabilitas, tak kalah pentingnya integritas. Memang penilaian demikian tidaklah datang secara subjektif, meski begitu tiada salahnya bersifat rendah hati.
Hendaknya calon pemimpin bersikap “ ojo rumongso biso, ning biso rumongso” –Jangan pernah merasa bisa (dirinya hebat), tetapi hendaknya bisa merasa atau tahu diri atas keterbatasan yang dimiliki.