Baca juga: Wapres Mengingatkan Ormas Islam Agar Mendalami UU Cipta Kerja
Mengenai Hakim MK yang dipilih oleh DPR dan Presiden pun perlu diluruskan bahwa hal tersebut sudah menjadi ketetapan konstitusi, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 24C ayat (3) UUD 1945. Jadi itu bukan maunya Hakim MK sendiri atau maunya DPR dan Presiden.
"Nah, disamping alasan pertama yang terkait dengan kredibilitas Hakim MK di atas, ada pula alasan kedua yang dimunculkan oleh masyarakat yang tidak percaya bahwa MK akan mengabulkan JR UU Cipta Kerja, yaitu terkait persoalan aturan hukum," katanya.
Masyarakat coba mengaitkannya dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UU 7/2020), yang diundangkan enam hari sebelum UU Ciptaker disahkan oleh DPR.
Dalam UU tersebut DPR dan Presiden menghapus ketentuan Pasal 59 ayat (2) yang sebelumnya termuat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UU 8/2011).
Pasal 59 ayat (2) pada pokoknya mengatur mengenai kewajiban bagi DPR dan Presiden untuk segera menindaklanjuti Putusan MK yang terkait dengan JR, dalam hal Putusan itu mengubah undang-undang yang diuji.
"Nah, penghapusan pasal itu banyak dikira orang merupakan skenario dari DPR dan Presiden untuk menihilkan Putusan MK. Mereka pikir, dengan demikian maka DPR dan Presiden tidak lagi memiliki kewajiban untuk menindaklanjuti Putusan MK," ucapnya.
Sehingga, terbangunlah asumsi di masyarakat bahwa seandainya pun UU Cipta Kerja dibatalkan, baik sebagian atau seluruhnya oleh MK, maka hal itu akan sia-sia sebab UU tersebut tetap bisa diberlakukan oleh DPR dan Presiden. Padahal ini asumsi yang keliru.
Baca juga: KSPI Lanjutkan Menolak UU Cipta Kerja Lewat Jalur Gugatan Hukum
Perlu diketahui, penghapusan Pasal 59 ayat (2) UU 8/2011 melalui UU 7/2020 bukanlah kemauan DPR dan Presiden, melainkan pasal itu dihapus justru karena diperintahkan oleh MK.
Ketentuan Pasal 59 ayat (2) UU 8/2011 sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi sejak sembilan tahun yang lalu melalui Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011, tanggal 18 Oktober 2011. Jadi, memang sudah seharusnya Pasal 59 ayat (2) itu dihapus dalam UU 7/2020.
Penghapusan pasal tersebut sama sekali tidak mempengaruhi sifat Putusan MK yang memiliki kekuatan hukum terakhir dan mengikat (‘final and binding’), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.