Selingkuhanku Ada Lima, Rupa-Rupalah Warnanya

Senin 16 Mar 2020, 07:20 WIB

MUNGKIN Sumedi (45), lelaki paling ndableg se-Surabaya. Punya satu selingkuhan saja istri sudah mencak-mencak, tapi dia malah koleksi sampai 5. Maka istripun suka meledek, “selingkuhanku ada lima, rupa-rupa warnanya.” Tapi Sumedi makin nekat, aset di rumah dijual untuk manjakan para WIL.

Ada orang bilang, istri satu cukup, tapi istri dua malah kurang. Kok bisa begitu? Karena setelah dua jadi punya pembanding, istri pertama joss, istri kedua lebih joss, mungkin istri ketiga superjoss.

Saking penasarannya, mulailah dia berburu istri. Jika tak mampu dan ambil resiko, dia pakai jalur independen alias kawin siri, atau bahkan sukup punya WIL di sana-sini karena sudah kadung “ngewula manuk”.

 Sumedi warga Kota Pahlawan ini termasuk lelaki yang demen berburu cewek. Modalnya hanyalah tampang yang lebih menunjang, di samping memang ahli menata kata dan santun pula. Jika dia nampak kaya dan parlente, itu karena dimodali oleh istri, yang punya banyak usaha. Maka kata orang Jawa, sebetulnya Sumedi ini kawin dengan Dewi, 40, tak pakai modal harta!

 Maklum, Dewi ini secara penampilan juga biasa saja. Ibarat mobil masih polos, asal ngglinding saja. Sudah pakai AC memang, tapi ban belum radial, tidak power window dan power stering.

Tapi karena dia kaya, Sumedi mau dijadikan suami. Kasarnya, suami tak perlu kerja, yang penting banyak mengasup telur mentah, madu Sumbawa dan sukur-sukur ginseng Korea.

Tapi Sumedi yang sudah kadung nampak parlente dan borjuis, lama-lama jadi lupa akan keberuntungan yang diberikan oleh istri.  Sebab setelah jenuh dengan pelayanan “sayur lodeh” istri, Sumedi mulai berpikir “rendang Padang”, “gudeg Yogya” atau “bumbu rujak Purworejo” dan “lodok Tulungagung”.

 Sekali punya WIL, Sumedi pernah ketahuan dan Dewi menangis meratap-ratap karena suaminya telah mengkhianati “Piagam Benowo” (dulu menikah di KUA Benowo). Maka Sumedi pun minta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi lagi. Dia akan fokus pada keluarga, dan rajin membantu usaha istri, pokoknya kerja, kerja, kerja. 

Tapi beberapa bulan kemudian sudah kumat lagi, bahkan koleksi selingkuhan Sumedi sudah ada tiga. Untung saja suami “pasangan” lebih dari satu belum kena pajak. Jika sudah kena, Sumedi pasti kena pajak progresif tapi tidak revolusioner seperti kata Bung Karno dulu.

Tak lama kemudian koleksi WIL Sumedi bertambah lagi jadi lima. Nah, di sinilah dia mulai kedodoran, sehingga untuk membiayai para WIL itu dia terpaksa menjual ruko-nya yang atas nama dirinya. Di sinilah Dewi yang sudah hafal kelakuan suami, tak kaget lagi bila kini Sumedi punya cem-ceman sampai lima.

Paling-paling menyindir lewat lagunya Pak Kasur yang diplesetkan, “slingkuhanku ada lima, rupa-rupa warnanya. Berantem warna hijau dorrr...”

 Tapi meski sudah disindir-sindir, Sumedi masih nekat. Dia terus berusaha menjual asset seperti menteri BUMN  saja. Dewi yang sudah membaca gejala itu sudah mengamankan ke safety box di bank. Maka ketika Sumedi dongkel almari dan laci meja terkunci, hanya mendapatkan pepesan kosong.

“Mampus lu,” batin Dewi menahan ketawa.

Tapi punya suami model demikian lama-lama memang tak nyaman. Mau dituker tambah, mana ada yang mau. Maka sesuai dengan nasihat anak-anak, bapaknya dipersona non gratakan saja, alias dicerai. Mau punya WIL seribu kek, silakan saja.

“Yang penting setelah status bukan suami lagi, ibu tak perlu korban perasaan,” kata anak-anaknya.

Dewi mengikuti saran itu sehingga beberapa hari lalu mendaftarkan gugatan cerai ke Pengadilan Agama Surabaya. Sebetulnya Sumedi berkeberatan, tapi tak bisa apa-apa. Setelah jadi durat alias duda melarat, pastilah para WIL itu akan melepaskan diri satu persatu.

Sebab motto mereka: witing tresna merga atusan lima. (gunarso ts) 


Berita Terkait


News Update