JAKARTA - Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dijalankan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan menuai polemik. Direktur Eksekutif Studi Demokrasi Rakyat (SDR) Hari Purwanto mempertanyakan legalistas operasi senyap tersebut.
Hari menyinggung soal surat tugas yang dikantongi tim KPK yang kabarnya ditandatangani oleh pimpinan KPK lama pada 20 Desember 2019, di hari yang sama dengan serah terima jabatan komisioner lama dengan komisioner baru.
"Sebagaimana diketahui masa jabatan Pimpinan KPK periode Agus Raharjo Cs mestinya habis tanggal 21 Desember 2019 lalu. Namun, dengan pertimbangan tanggal tersebut jatuh di hari Sabtu, maka Presiden Joko Widodo memutuskan melantik Komisioner baru Komjen Firli Bahuri DKK di tanggal 20 Desember 2019 siang seusai Shalat Jumat," katanya dalam rilis yang diterima Poskota.id, Selasa (14/1/2020).
Hari lantas mempertanyakan maksud dari Pimpinan KPK lama memilih “memaksakan” memperpanjang surat tugas di hari akhir bertugas dibanding menyerahterimakan kepada pimpinan baru. Aktivis 98 ini juga meragukan kalau pimpinan KPK yang baru dilantik mengetahui adanya operasi ini.
“Bukankah sebenarnya lebih mudah bagi pimpinan lama untuk menyerahterimakan kasus ini ke pimpinan baru, dibanding diam-diam memperpanjang surat tugas di hari akhir mereka bertugas. Apa maksudnya pelanggaran prosedur tersebut?” sambungnya.
Hari pun meminta KPK untuk mulai belajar mematuhi peraturan baru yang ada. Ia menilai, penyadapan yang dilakukan KPK dalam operasi ini tergolong unlawful dan tidak bisa dijadikan alat bukti. Sebab, kata Hari, menurut UU No. 19 tahun 2019 Pasal 12B Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dilaksanakan setelah mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
Sebelumnya, anggota Dewas KPK Syamsuddin Haris mengatakan, penyidik KPK tak meminta izin penyadapan untuk kasus Wahyu. Syamsuddin Haris mengaku, mereka masih mengacu pada Undang-Undang KPK lama.
Berkaitan itu, Hari pun membantah dalil yang disampaikan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, bahwa pihaknya masih menggunakan Surat Perintah Penyelidikan dan Surat Perintah Penyadapan lama yang ditandatangani oleh komisioner lama.
“KPK harus tunduk pada Undang-Undang, bukan sebaliknya. Apapun keputusan KPK yang bertentangan dengan Undang-Undang, otomatis gugur,” tegas Hari.
Hari mengingatkan kepada KPK untuk patuh pada UU yang ada. Ia pun menyatakan prihatin jika UU baru ini menyulitkan kerja KPK. Bahkan, lanjut Hari, KPK tidak bisa memberantas korupsi dengan cara-cara melanggar hukum.
"Justruh hal-hal seperti ini merupakan tantangan bagi Komisioner KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri, untuk menunjukkan kalau KPK tidak sedikit pun kendor dalam memberantas korupsi, meski sejumlah kewenangannya dipreteli,” ungkapnya.