“Presiden seolah ingin menyampaikan bahwa usulan buruh di angka 0,9 itu masuk akal. Usulan menteri 0,8 justru dicoret. Itu jelas pesan politiknya,” ujar Said Iqbal.
Said Iqbal mengakui Presiden kemudian menurunkan batas bawah indeks dari 0,6 menjadi 0,5. Namun, menurutnya, kebijakan tersebut tidak menghilangkan pesan utama bahwa Presiden mendorong perjuangan buruh agar tidak berhenti pada angka kenaikan yang rendah.
Selain itu,Said Iqbal juga mengkritik kesepakatan sejumlah gubernur yang mengikuti arahan Kementerian Dalam Negeri dan kementerian terkait dengan menetapkan indeks kenaikan upah di bawah 0,9, bahkan ada yang berada di kisaran 0,7 hingga 0,5.
Baca Juga: Tolak Formula Upah 2026, Partai Buruh–KSPI Siap Gelar Mogok Nasional
Ia menilai langkah tersebut bertentangan dengan semangat keberpihakan yang telah ditunjukkan Presiden.
Lebih lanjut, Said Iqbal menegaskan pentingnya kenaikan upah untuk memulihkan daya beli masyarakat yang terus melemah.
Ia merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat deflasi pada Februari, Mei, dan Agustus 2025. Artinya harga terlihat stabil, tapi masyarakat tidak memiliki uang untuk belanja.
Said Iqbal juga mengingatkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bahwa upah minimum di Ibu Kota saat ini justru lebih rendah dibandingkan daerah penyangga seperti Bekasi.
Padahal, biaya hidup di Jakarta, mulai dari cicilan rumah hingga sewa hunian, jauh lebih tinggi.
“Logikanya sederhana, biaya hidup Jakarta lebih mahal, tapi upahnya malah kalah dari Bekasi. Masa gubernur tidak memahami kondisi ini?” tanya Said Iqbal dengan heran.
