“Penjualan turun banget. Turun jauh. Keadaan ekonomi kan tidak baik-baik saja,” ucapnya.
Ia mengatakan, lonjakan harga membuat omzet penjualan ayam turun sekitar 20-30 persen dibandingkan kondisi normal, meski harga per kilogram naik namun volume penjualan justru merosot tajam.
“Penurunan omzetnya 20 sampai 30 persen. Harganya sudah terlalu tinggi,” ungkap Ferdi.
Baca Juga: Dijadikan Tempat Pengoplosan Elpiji, Kontrakan di Bogor Digerebek
Terkait langkah antisipasi dari pemerintah daerah, Ferdi mengaku belum merasakan adanya intervensi yang signifikan untuk menekan harga ayam di pasaran.
“Tidak ada apa-apa. Enggak ada lah. Emang Pemda bisa ngapain? Wakil Presiden sudah kemari juga nggak ada apa-apa, enggak ngaruh,” keluhnya.
Sementara itu, kondisi relatif berbeda terjadi pada komoditas telur. Roni (43), pedagang telur di Pasar Senen mengatakan bahwa harga telur menjelang Nataru memang mengalami kenaikan, namun masih tergolong ringan dan stabil.
“Naik paling di angka Rp1.000. Naik turunnya juga Rp1.000,” ujar Roni.

Dia menjelaskan, harga telur ayam ras saat ini berada di kisaran Rp30.000 hingga Rp31.000 per kilogram, naik dari harga sebelumnya yang berada di angka Rp28.000 hingga Rp29.000 per kilogram.
Menurutnya, kenaikan ini sudah mulai terasa sejak sekitar dua minggu terakhir dan lazim terjadi menjelang hari-hari besar.
“Kayaknya faktor Nataru. Biasanya setiap hari besar itu selalu naik,” katanya.
Roni menambahkan, harga telur juga dipengaruhi oleh asal distribusi. Telur dari Jawa, Bogor, dan Sumatra memiliki perbedaan harga, meskipun ukuran telur relatif sama. Perbedaan harga biasanya terlihat dari warna dan kualitas kulit telur.
