Kopi Pagi: Mengajar dengan Cinta. (Sumber: Poskota)

Kopi Pagi

Kopi Pagi: Mengajar dengan Cinta

Senin 24 Nov 2025, 06:07 WIB

“Guru wajib hadir dalam dunia pendidikan. Tanpa guru, pendidikan bisa salah arah, tapi guru tanpa sentuhan empati, nurani, kreasi dan inovasi, pendidikan boleh jadi hanya berjalan searah..”

-Harmoko-.

--

Dalam filosofi berbahasa Jawa, guru merupakan singkatan dari kata “digugu” – dipercaya, lan “ditiru” – diikuti, dianut. Filosofi ini memberi pesan kepada kita semua bahwa ucapan, perkataan dan nasihat guru wajib diikuti dan diyakini kebenarannya. Sikap dan perilaku guru patut pula dijadikan contoh, teladan.

Ini menuntut konsekuensi bahwa ucapan dan tindakan guru harus dapat dipertanggungjawabkan, karena tadi, menjadi anutan dan teladan bagi muridnya, baik dalam perkataan maupun perbuatan.

Baca Juga: Kopi Pagi: Menyiapkan Anak Masa Depan

Itulah sebabnya status guru begitu mulia, peran guru sangat besar dalam menyiapkan dan membentuk karakter bangsa. Kian diperlukan keteladanan dalam menanamkan nilai – nilai moral, etika dan kebangsaan melalui aksi nyata, bukan sebatas di atas kertas, mengingat peran ini tidak tergantikan oleh teknologi apa pun.

Di tengah revolusi digital, memang menuntut guru menguasai teknologi pembelajaran, menggunakan platform digital, termasuk memanfaatkan artificial intelligence (AI). Tetapi patut diingat, memanfaatkan kecerdasan buatan lebih ditujukan guna meningkatkan efektivitas belajar, bukan untuk membentuk karakater.

Proses pembentukan nilai –nilai luhur luhur, adat dan budaya sebagaimana falsafah  bangsa kita, Pancasila, tetap membutuhkan pendampingan dari para orang tua, keluarga dan guru. Tak terkecuali, tokoh masyarakat dan pejabat publik.

Terlebih di era perubahan sosial dan budaya digital seperti sekarang ini yang akan mempengaruhi karakter dan perilaku siswa, kehadiran guru kian dibutuhkan tak hanya menjadi pengajar, pembimbing akademik, tetapi pendamping dalam pembentukan karakter, literasi digital, termasuk dalam bermedia sosial yang beretika dan bermoral.

Membangun narasi yang positif, kreatif, inovatif dan inspiratif bagi kemajuan, bukan kemunduran, bukan menyesatkan, tidak pula menjerumuskan ke jurang kenistaan.

Guru hendaknya ing ngarso sung tulodo – di depan memberi teladan membangun harmoni, membawa kebaikan, bukan keburukan. Mencerahkan, bukan kegelapan sebagaimana makna guru  dalam bahasa Sansekerta: “Gu” berarti kegelapan/tidak berpengetahuan  dan “ru” itu cahaya, terang. Artinya guru adalah orang yang menunjukkan cahaya untuk menghilangkan kegelapan.

Baca Juga: Kopi Pagi: Toleransi Membangun Harmoni

Cahaya bisa kita maknai sebagai pengetahuan, kebaikan, manusia yang berakhlak mulia, berintegritas, berkarakter, menjunjung tinggi etika dan moralitas bangsa. Ini sejalan dengan filosofi pendidikan yang berakar pada kesadaran spiritual, ekologis dan kemanusiaan.

Maknanya peran guru bukan hanya mengisi pikiran, tetapi menumbuhkan kesadaran dan meluruskan jalan berpikir. Menjaga keseimbangan antara ilmu dan iman, antara pengetahuan dan kebijaksanaan.

Itulah mulianya status guru, karena bukan sekadar profesi, melankan panggilan jiwa yang mengandung misi spiritual.

Jika kemudian publik menyebut guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, memang begitulah adanya. Ke depan kita berharap “pahlawan tanpa tanda jasa “ itu kian dipenuhi penghargaan dan penghormatan yang terimplementasikan melalui peningkatan kesejahteraan. Perlindungan akan hak – hak dan kewajibannya, tak lagi menjadi korban diskriminasi dan ketidakadilan.

Rehabilitasi yang diberikan Presiden Prabowo Subianto kepada dua guru asal Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Abdul Muis dan Rasnal, sebagai bentuk penghormatan pemerintah kepada guru, melindungi guru dari ketidakadilan.

Di tengah tuntutan harus menguasai perkembangan teknologi digital,  mengembangkan pembelajaran berbasis kreativitas, kolaborasi berpikir kritis,

guru masih menghadapi beragam persoalan dan kendala.

Baca Juga: Kopi Pagi: Sehat Mental dan Sosial

Kesejahteraan, salah satu di antaranya, tak terkecuali guru honorer yang hingga sekarang masih menjadi persoalan yang menuntut keberpihakan pemerintah. Belum lagi soal pelatihan guru secara berkelanjutan, pemerataan kualitas pendidikan, dukungan sarana belajar yang memadai mulai dari jaringan internet, perpustakaan digital hingga fasilitas kelas yang layak, terutama di daerah terpencil.

Lepas dari segala tantangan yang menghadang, kehadiran guru sebagai sosok “ digugu lan ditiru” tetap menjadi tuntutan publik.

Publik sangat berharap guru menuntun generasi agar memiliki nurani dalam berpikir dan bertindak.Menjadi generasi yang beriman, berilmu dan berakhlak.

Generasi yang peduli kepada sesama.

Ini dapat diedukasi, di antaranya mengajar dengan cinta:  memanusiakan manusia, membangun empati dan harmoni, merawat kedamaian dan kebersamaan. Saling menghormati.

Sering dikatakan mengajar dengan dengan cinta dan kasih sayang adalah kunci membangun peradaban.

Itulah peran guru. Kita meyakini, secanggih apa pun perkembangan teknologi, kehadiran guru tetap menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditolak, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Dengan kata lain, teknologi tidak akan bisa menggantikan guru, tapi guru yang tidak menggunakan teknologi akan "tertinggal kereta."

Yang pasti, guru wajib hadir dalam dunia pendidikan. Tanpa guru, pendidikan bisa salah arah, tapi guru tanpa sentuhan empati, nurani, kreasi dan inovasi, pendidikan boleh jadi hanya berjalan searah.

Selamat Hari Guru Nasional. (Azisoko). 

Tags:
HarmokoguruKopi Pagi

Tim Poskota

Reporter

Fani Ferdiansyah

Editor