Situasi seusai insiden ledakan di SMAN 72 Jakarta, Kelapa Gading Selatan, Jakarta Utara, Jumat, 7 November 2025. (Sumber: Poskota/Bilal Nugraha Ginanjar)

JAKARTA RAYA

Mimetic Violence Itu Apa? Istilah yang Jadi Sorotan di Balik Tragedi Ledakan SMAN 72 Jakarta

Rabu 12 Nov 2025, 10:15 WIB

POSKOTA.CO.ID - Seiring dengan penyelidikan terkait kasus ledakan di SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara, Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri mengungkapkan istilah baru bernama mimetic violence.

Juru Bicara Densus 88, AKBP Mayndra Eka Wardhana, menyebut aksi sang pelaku yang merupakan anak berhadapan dengan hukum (ABH) tidak berkaitan dengan jaringan teroris.

Melainkan, kata dia, hasil tersebut dari proses peniruan ekstrem terhadap kekerasan yang beredar di dunia maya.

“Yang bersangkutan hanya melakukan copycat atau peniruan saja karena itu sebagai inspirasi yang bersangkutan melakukan tindakan,” jelas Mayndra dalam konferensi pers di Polda Metro Jaya.

Temuan itu sekaligus membuka perbincangan luas di masyarakat mengenai bagaimana kekerasan di dunia digital dapat memengaruhi perilaku anak muda di dunia nyata.

Lantas, apa itu Mimetic Violence? Istilah yang jadi sorotan dalam kasus ledakan di SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Pusat.

Baca Juga: Densus 88 Ungkap Pelaku Bawa Tujuh Peledak dalam Insiden di SMAN 72 Jakarta Utara

Apa Itu Mimetic Violence?

Merunjuk dari Encyclopedia of Philosophy, mimetic violence atau kekerasan mimetik merupakan teori yang dikembangkan oleh filsuf asal Prancis, René Girard.

Girard menilai bahwa hasrat manusia untuk melakukan sesuatu, termasuk kekerasan, bukanlah murni lahir dari diri sendiri, melainkan hasil dari proses imitasi terhadap orang lain.

Dengan kata lain, seseorang tidak hanya meniru tindakan, tetapi juga meniru niat dan dorongan emosional di balik tindakan tersebut.

Dalam konteks kasus ledakan di SMAN 72 Jakarta, teori ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana pelaku bisa terdorong melakukan tindakan berbahaya setelah terpapar berbagai konten kekerasan ekstrem di media sosial.

AKBP Mayndra sendiri menyebut, pelaku telah menunjukkan ketertarikan terhadap konten kekerasan sejak awal tahun.

Ia merasa terisolasi, kesepian, dan menyimpan rasa dendam terhadap perlakuan di lingkungannya.

Kondisi emosional tersebut, kata dia, membuatnya mencari pelarian melalui komunitas daring yang mengagungkan kekerasan.

“Yang bersangkutan sempat mencari situs-situs yang menampilkan kekerasan dan kematian secara keji, bahkan bergabung dengan komunitas media sosial yang mengagungkan kekerasan,” terang Mayndra.

Di dalam komunitas semacam itu, pelaku menemukan ruang yang salah kaprah, di mana tindakan kekerasan justru dielu-elukan sebagai bentuk keberanian.

Densus 88 menegaskan, simbol dan tulisan yang ditemukan pada airsoft gun pelaku hanyalah hasil dari peniruan terhadap tokoh-tokoh ekstrem yang sering disebut dalam komunitas tersebut.

“Simbol-simbol tersebut bukan relasi komunitas atau afiliasi ideologis. ABH hanya sekadar terinspirasi dari tokoh-tokoh itu tanpa ada hubungan langsung,” tegas Mayndra.

Densus 88 juga menemukan sedikitnya enam figur yang menjadi inspirasi pelaku.

Diantaranya antara lain Eric Harris dan Dylan Klebold (pelaku penembakan Columbine, AS, 1999), Dylann Roof (Charleston, 2015), Alexandre Bissonette (Quebec, 2017), Vladislav Roslyakov (Kerch Polytechnic, 2018), Brenton Tarrant (Christchurch, 2019), dan Nathalie Lynn Rupnow (AS, 2024).

Baca Juga: Pemerintah Kaji Pembatasan Game Online dan Anti-Bullying Usai Ledakan SMAN 72 Jakarta, Soroti PUBG

Meski banyak ideologi ekstrem yang disebut dalam catatan pelaku, Densus 88 menegaskan bahwa tidak ada konsistensi ideologis yang menunjukkan keterlibatan langsung dengan kelompok tertentu.

“Yang bersangkutan hanya mempelajari dan meniru. Banyak ideologi yang muncul dalam catatannya, tetapi tidak ada satu pun yang konsisten diikuti. Ini menunjukkan bahwa tindakannya hanya sekadar terinspirasi,” kata Mayndra.

Mayndra menutup keterangannya dengan menekankan pentingnya pengawasan digital terhadap anak-anak.

Fenomena seperti ini menjadi peringatan bagi masyarakat bahwa, kekerasan di dunia maya bisa menular ke dunia nyata melalui proses imitasi yang tidak disadari.

“Ini menjadi awareness bersama bahwa kekerasan di dunia maya bisa menginspirasi tindakan di dunia nyata,” pungkasnya.

Tags:
SMAN 72AKBP Mayndra Eka Wardhanamimetic violenceDensus 88 Antiteror PolriSMAN 72 Jakarta Pusatledakan SMAN 72 JakartaSMAN 72 JakartaSMAN 72 Kelapa Gading

Mutia Dheza Cantika

Reporter

Mutia Dheza Cantika

Editor