Ilustrasi tawuran. (Sumber: Poskota/Arif)

JAKARTA RAYA

Narkoba Jadi 'Bahan Bakar' Tawuran Remaja, Pengamat: Mereka Butuh Pemacu Adrenalin

Senin 20 Okt 2025, 21:03 WIB

KEBAYORAN BARU, POSKOTA.CO.ID - Akhir-akhir ini, pihak kepolisian yang mengamankan sejumlah aksi tawuran di Jakarta kerap menemukan barang bukti narkotika, terutama jenis sinte dan ganja. Temuan aparat kepolisian tersebut menjadi sorotan dan kekhawatiran masyarakat, mengingat para pelaku tawuran anak-anak muda, bahkan usia remaja.

Pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Rissalwan Habdy Lubis, mengatakan bahwa hubungan antara tawuran dan narkoba bersifat kompleks dan perlu dipahami dalam konteks tipe tawuran yang berbeda. Saat ini, kata dia, tawuran sudah banyak bergeser yang awalnya antar pemuda kampung, antar pelajar dan kini beralih antar geng atau kelompok.

“Tawuran itu ada tipenya, antar sekolah, antar kampung, dan sekarang yang marak adalah antar geng: tongkrongan atau geng motor. Karakternya beda-beda,” kata Rissalwan dalam analisisnya, yang disampaikan kepada Poskota, Senin, 20 Oktober 2025.

Rissalwan menjelaskan bahwa dalam kelompok tongkrongan, kegiatan berkumpul sering diisi dengan minuman keras (miras), bahkan narkotika. Orang-orang yang nongkrong ini biasanya membawa senjata tajam. Untuk bisa menebaskan senjata itu, mereka butuh adrenalin, salah satunya dengan mengkonsumsi narkoba.

"Mereka (pelaku tawuran) sebetulnya tidak betul-betul berani, mereka butuh sesuatu yang membuat adrenalinnya terpacu. Dalam kondisi itulah keberanian yang sebelumnya ragu-ragu bisa muncul,” kata Rissalwan.

Baca Juga: Jejak Narkoba di Balik Maraknya Aksi Tawuran Remaja di Jakarta

Fenomena yang mengkhawatirkan, menurut Rissalwan, juga tampak pada kasus-kasus melibatkan remaja usia sangat muda. Ia menyinggung peristiwa beberapa hari lalu di Jakarta Pusat, di mana seluruh pelaku yang diamankan berusia remaja dan kedapatan membawa sinte (tembakau sintetis atau ganja sintetis). Hal ini menunjukkan narkoba sudah meracuni kalangan pelajar.

Dari sisi psikologi perkembangan, Rissalwan merujuk pada tahap remaja sebagai masa pencarian jati diri dan pengakuan sosial. Remaja yang butuh pengakuan cenderung membentuk kelompok. Kemudian dalam kelompok itu, tekanan teman sebaya dan pencarian euforia dapat mendorong mereka mencoba zat yang menaikkan keberanian.

“Zaman 1980-an, perkelahian masih lebih fisik tanpa senjata tajam. Sekarang penggunaan senjata ditambah narkoba membuat potensi cedera dan fatalitas jauh lebih besar,” keluhnya.

Sebagai solusi, Rissalwan menekankan pendekatan paralel. Di antaranya menanggulangi aksi tawuran dengan menyediakan saluran energi anak muda, lewat olahraga, seni, dan kompetisi. Hal ini sekaligus sebagai ajang memutus rantai suplai narkoba.

Dia menegaskan, langkah ini tidak cukup jika hanya dilakukan oleh aparat kepolisian maupun Badan Narkotika Nasional (BNN) saja, tapi juga perlu keterlibatan dan komitmen lingkungan keluarga.

“Penindakan saja tidak cukup, keluarga, sekolah, dan komunitas harus dilibatkan untuk mencegah agar anak muda tidak masuk ke lingkaran itu. Jadi jika hanya polisi dan BNN tanpa peran keluarga dan sekolah, solusi tidak akan tuntas,” kata Rissalwan.

Rissalwan juga menyinggung model yang kerap digunakan di luar negeri, seperti program wajib militer atau program pembinaan pasca-SMA. Sehingga anak-anak yang sudah lulus dari bangku SMA diberikan pilihan mau lanjut kuliah atau ikut serta wajib militer.

Dengan catatan, jika mereka telah mengikuti wajib militer kurang lebih selama dua tahun, maka institusi perguruan tinggi wajib menerimanya.

Baca Juga: Polisi Tangkap 8 Pemuda Tawuran di Senen Jakpus, Narkoba Ditemukan

"Karena dia (alumni wajib militer) adalah istilahnya itu son of nation atau anak-anak negara. Jadi, dengan cara itu tawuran hilang pasti, narkoba juga demikian," ucap Rissalwan.

Dalam keterangannya, BNN menyebut bahwa pelajar usia remaja termasuk dalam kelompok yang rentan terhadap penyalahgunaan narkoba. Hal ini karena pada masa remaja, individu masih berada pada fase labil sehingga mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitar.

BNN juga menilai, maraknya tawuran dan tindakan kekerasan di kalangan pelajar kerap dipicu oleh penggunaan narkoba maupun obat keras yang termasuk dalam daftar G, seperti antibiotik, obat antidiabetes, dan antihipertensi.

"Kita sebagai orang tua harus lebih aware, lebih peduli melihat aktivitas anak-anak kita. Jangan sampai anak kita sendiri karena mungkin terlalu sayang, sehingga perhatiannya justru malah katakan membiarkan atau memanjakan," ucap Kepala BNN, Komjen Suyudi Ario Seto

Aksi tawuran antarwarga, pelajar maupun antar pelajar juga masih menjadi momok bagi warga Jakarta Timur. Meski tidak terjadi setiap hari, aksi tawuran kerap muncul pada momen-momen tertentu seperti bulan Ramadan atau perayaan tahun baru. Hal itu disampaikan oleh salah satu warga setempat, Lukman Nur Hakim, 25 tahun.

Lukman mengungkapkan, tawuran tidak hanya mengganggu ketentraman lingkungan, tetapi juga berdampak pada aktivitas ekonomi warga. Ia mencontohkan adanya wacana penutupan permanen pintu penyeberangan kereta antara Kayu Manis dan Palmeriam sebagai imbas dari seringnya bentrokan di area tersebut. Menurutnya, kebijakan itu akan menyulitkan mobilitas masyarakat yang biasa melintas di jalur itu.

“Kalau ditutup, warga harus memutar lewat Pramuka atau Pondok Jati. Dampaknya, kegiatan ekonomi bisa terganggu, misalnya lahan parkir jadi tidak terpakai dan ojek pangkalan kehilangan pendapatan,” keluh Lukman.

Lukman mengaku bersyukur tidak pernah menjadi korban tawuran, meski ia pernah ikut terlibat di masa lalu. Ia menilai fenomena tawuran sudah menjadi bagian dari budaya di lingkungannya.

Aksi kekerasan tersebut sering kali bermula dari persoalan sepele, seperti anak-anak yang bertengkar saat bermain bola, lalu meluas hingga melibatkan kakak atau bahkan orang tua mereka.

“Di sini, tawuran sering dianggap sebagai simbol keberanian atau cara terakhir menyelesaikan masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan damai,” ucap Lukman.

Tags:
Rissalwan Habdy LubisJakartanarkobatawuran

Ali Mansur

Reporter

Mohamad Taufik

Editor