Baca Juga: Hujan Mikroplastik di Jakarta, Greenpeace Sebut Krisis Plastik sudah di Level Mengkhawatirkan
Dalam forum tersebut, para ilmuwan dunia menemukan bahwa mikroplastik dapat menjadi perantara penyebaran penyakit menular, karena mikroorganisme berbahaya dapat menempel pada partikel plastik di udara maupun air.
“Plastik bisa menjadi kendaraan bagi penyebaran patogen. Jadi, bukan hanya mencemari lingkungan, tapi juga bisa memperparah situasi penyakit di masyarakat,” ungkap dia.
Menanggapi kondisi ini, Dicky menegaskan bahwa solusi terhadap persoalan mikroplastik harus dimulai dari hulu, yaitu dengan mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dan memperkuat sistem pengelolaan sampah serta air hujan.
“Langkah pencegahan paling utama adalah mengurangi sumber plastik di hulu. Batasi penggunaan plastik sekali pakai, dorong penggunaan bahan alami dan biodegradable," ujarnya.
"Pemerintah daerah juga perlu mengembangkan sistem filtrasi air dan pengelolaan limbah yang ramah lingkungan,” lanjut Dicky.
Selain itu, Dicky menekankan pentingnya literasi publik untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap bahaya mikroplastik.
“Masyarakat jangan membakar atau membuang plastik sembarangan. Kurangi penggunaan deterjen dan kosmetik yang mengandung mikroplastik, serta pilih pakaian berbahan alami seperti katun atau linen agar tidak melepaskan serat sintetis ke lingkungan,” ujarnya.
Lebih jauh, Dicky menegaskan bahwa temuan mikroplastik dalam air hujan menunjukkan bahwa pencemaran plastik kini bukan hanya isu lingkungan, tetapi juga telah menjadi ancaman kesehatan masyarakat dan masalah udara.
“Ini bukan lagi sekadar masalah laut atau darat. Mikroplastik di air hujan membuktikan bahwa pencemaran plastik sudah masuk ke sistem udara dan kehidupan sehari-hari manusia. Kita harus mengambil langkah komprehensif sejak sekarang, sebelum situasinya menjadi jauh lebih buruk,” ungkap dia.