Ilustrasi bunuh diri (ist)

JAKARTA RAYA

3-4 Kasus Bunuh Diri Terjadi di Jabodetabek Setiap Bulannya, Begini Kata Pengamat Sosial

Senin 06 Okt 2025, 18:45 WIB

KEBAYORAN BARU, POSKOTA.CO.ID - Aksi bunuh masih marak terjadi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Tercatat dari awal bulan Januari 2025 hingga saat ini, sebanyak 36 laporan kasus bunuh diri wilayah hukum Polda Metro Jaya tersebut.

Dengan data itu, maka rata-rata sekitar 3-4 orang dilaporkan meninggal dengan cara bunuh diri setiap bulannya.

Pengamat sosial dari Universitas Indonesia (UI), Rissalwan Habdy Lubis, menilai bahwa kasus-kasus bunuh diri mencerminkan hilangnya harapan hidup pada sebagian masyarakat.

Hal ini kebalikan dari kasus-kasus penipuan seperti dukun pengganda uang dan sebagainya. Mereka tertipu karena terlalu percaya dan berharap berlebihan.

"Manusia itu adalah makhluk yang berharap. Tapi dalam kasus ini, justru sebaliknya. Ini menunjukkan bahwa orang itu bisa dalam kondisi habis harapannya,” ujar Rissalwan, kepada Poskota, Senin, 6 Oktober 2025.

Baca Juga: Wanita Asal Pamulang Tangsel Diduga Coba Bunuh Diri di Flyover Cibinong Bogor

Menurut Rissalwan, pandangan ini sejalan dengan teori klasik sosiolog Prancis, Emile Durkheim, yang menyatakan bunuh diri bukan sepenuhnya kehendak individu, melainkan akibat tekanan eksternal yang disebut 'fakta sosial'.

Sehingga bisa dikatakan bahwa bunuh diri kemungkinan berasal dari dorongan eksternal. "Fakta sosial itu berada di luar individu dan memaksa individu melakukan sesuatu yang sebenarnya dia tidak mau,” beber Rissalwan.

Rissalwan mencontohkan beberapa kasus bunuh diri yang terjadi di lingkungan tempat tinggalnya. Kata dia, seorang pedagang gorengan ditemukan tewas di toilet minimarket, Sawangan, Depok, Jumat, 22 Agustus 2025 lalu.

Kemudian belum lama ini, juga terjadi di Depok, ada seorang suami yang gantung diri di depan rumahnya setelah mengetahui istrinya selingkuh.

"Ini menunjukkan orang akhirnya memutuskan bunuh diri karena tidak ada nilai lagi yang bisa dijadikan acuan, kehilangan harapan,” ucap Rissalwan.

Rissalwan menekankan ada dua faktor utama yang membuat seseorang rentan bunuh diri, yaitu ketiadaan harapan dan lemahnya kontrol sosial.

Fenomena ini menggambarkan kondisi masyarakat yang sedang “sakit”. Meski pemerintah meluncurkan berbagai program, namun realitas di lapangan menunjukkan fakta sosial yang menekan dan memaksa orang pada pilihan yang berat.

Terkait dengan faktor yang melatarbelakangi kasus bunuh diri yang terjadi di Jabodetabek masih perlu penelitian yang mendalam.

Dia meyakini, selain motif ekonomi, yang sering terungkap di permukaan, ada beberapa faktor lain yang jadi pemicu korban tidak berpikir panjang untuk mengakhiri hidupnya, meninggal anak, istri, suami bahkan orang tuanya.

"Penelitian mendalam soal penyebab bunuh diri di Indonesia, terutama di kota besar seperti Jakarta, masih terbatas. Data primer sulit diperoleh karena sensitifnya topik ini, sehingga kebanyakan penelitian hanya mengandalkan data sekunder," kata Rissalwan.

Baca Juga: Anak Usia 13 Tahun di Cipayung Jaktim Bunuh Diri, Kriminolog Sebut karena Akumulasi Tekanan

Meski begitu, Rissalwan berpendapat bahwa akar masalahnya terletak pada melemahnya sistem sosial yang seharusnya menjadi penyangga individu. Sehingga orang-orang yang terabaikan dalam sistem sosial yang kecil, keluarga, teman, lingkungan pergaulan, hingga tidak memiliki ikatan lagi sangat rentan untuk melakukan aksi nekat bunuh diri.

"Tidak ada yang mengingatkan atau memberi semangat untuk menjalani hidup,” ucap Rissalwan.

Rissalwan menambahkan bahwa setiap orang memiliki masalah, bahkan presiden sekalipun. Namun, individu yang dikelilingi sistem sosial yang kuat cenderung lebih mampu mengatasi atau setidaknya mengalihkan masalah tersebut hingga mereka kembali pulih. Dia menegaskan bahwa tidak semua masalah harus diselesaikan, ada yang cukup dilupakan.

"Kadang obat terbaik adalah waktu. Tapi kalau sistem sosialnya tidak ada, tidak kuat, orang bisa kehilangan kendali,” beber Rissalwan.

Terakhir, Rissalwan mengingatkan bahwa meningkatnya individualisme di masyarakat membuat orang rentan menghadapi masalahnya sendiri tanpa dukungan. Sebab kemungkinan besar orang-orang individualis tidak memiliki lingkungan yang bisa mengingatkan dan memotivasi ketika ada masalah.

“Orang-orang individualis ini akhirnya tidak punya kendali, tidak punya orang di sekelilingnya yang bisa menghentikan mereka dari melakukan hal-hal yang membahayakan diri, termasuk bunuh diri,” kata Rissalwan.

Tags:
Rissalwan Habdy Lubispenyebab bunuh diriJabodetabek bunuh diri

Ali Mansur

Reporter

Mohamad Taufik

Editor