Opini Ekonomika Pancasila oleh Yudhie Haryono (CEO Nusantara Centre).

SERBA-SERBI

Ekonomika Pancasila: Ekonomi Tanpa Kejeniusan

Rabu 01 Okt 2025, 09:54 WIB

Oleh: Yudhie Haryono (CEO Nusantara Centre)

Di depan lokasi pertambangan nikel PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, aku tertegun dan marah. Terlihat begitu luas perusakan lingkungan dan kesenjangan ekonomi.

Ya, negara kembali kalah, rakyat kembali berduka. Bayangkan, dengan umur 80 tahun, negeri ini bukannya "memuliakan penduduknya", tapi sebaliknya: pemerintah hanya mengulang-ulang penjajah, berekonomi jahiliyah.

Tentu, ini mereplikasi roadmap ekopol ratusan tahun lalu: pijakan pada ekonomi ekstraktif. Sebuah roadmap yang diganyang para patriot pancasila hingga merdeka; sesuatu yang dihapuskan; jejak yang didelet; tradisi yang diharamkan.

Namun, pascakejatuhan orde lama, roadmap itu telah kembali. Ini sistem ekonomi yang bergantung pada eksploitasi sumber daya alam, seperti minyak, gas, mineral, nikel, emas dan kayu, untuk menghasilkan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi.

Baca Juga: Ekonomika Pancasila: Ekonomi Kaya dan Bahagia

Sektor ekstraktif mencakup kegiatan seperti pertambangan (minyak, gas, nikel, emas, batu-bara), penebangan hutan, perikanan yang dikerjakan tanpa industrialisasi, inovasi dan hilirisasi.

Tragisnya, pasca orde baru, roadmap ini diperjelas: bahkan negara menyerahkan hal itu ke swasta. Kita tak punya lagi aset strategis, sektor premium, kekayaan fundamental dan kapital subtantif.

Padahal, negara tanpa aset strategis (nasional) pasti bukan negara. Sebab, tanpa aset strategis itu, pasti tak punya kepentingan nasional (national interest). Negara tanpa kepentingan nasional pasti tak punya lembaga penjaganya (national security council/NSC). Tanpa lembaga penjaga, maka tak ada legislasinya: tak punya undang-undang ekonomi-politik nasional.

Sebaliknya, yang terjadi adalah swastanisasi negara. Ya, bentuknya kini negara swasta. Yang berkuasa para mafia. Negara bertugas memastikan mereka kaya, serakah, semaunya dan dilindungi mental serakahnya dengan legislasi plus aparat hukum.

Baca Juga: Ekonomika Pancasila: Rekapitalisasi Kekayaan Nasional (1)

Akhirnya di ekonomi ekstraktif, warga negara seperti lilin ulang tahun. Para mafia meniup lilin itu sampai redup dan mati. Kemudian mereka hidup dalam dendam tak berkesudahan: ekspor bahan mentah dan SDM rendah sambil mentradisikan KKN serta bertepuk tangan tanpa tahu apakah itu sedih atau kegilaan.

Maka, dalam ekonomi ekstraktif, kebutuhan rakyat miskin tidak mungkin dipenuhi oleh elite dan ekonom yang berkhianat dan dendam dengan kemiskinannya di masa lalu.

Para elite dan ekonom itu memilih jadi kacung, gedibal dan rentenir mafia sehingga tidak mungkin memenuhi amanat konstitusi. Mereka hanya bangga jadi petugas dan penjaga konglomerat lokal, nasional dan global.

Memang, pemikir(an) di kita cuma ada dua: (1)Yang berontologi "we part of them," (2)Yang berprinsip "they part of us." Sayangnya, pikiran pertama sangat merajalela. Terutama saat orde baru berkuasa sampai kini.

Baca Juga: Ekonomika Pancasila: Demi Nasionalisasi

Kita belum berhasil membangun sistem sendiri (pemikiran asli/sendiri). Memang, Tan Malaka, Bung Karno, Bung Hatta sudah memulai. Kita tinggal meneruskan dan mengembangkan serta memenangkan segera.

Singkatnya, kita punya PR besar dan menantang: menciptakan sistem ekopol yang memfokuskan hubungan demokratis dan mengatur konfigurasi kuasa: relasi kekayaan, relasi pengetahuan dan relasi kebudayaan/keagamaan.

Tentu ini ekonomi pancasila, ekonomi kejeniusan. Satu program yang tidak mudah. Terlebih, kata "asli" telah dihapus dari konstitusi, tetapi tak perlu berkecil hati.

Tags:
ekonomiEkonomika PancasilaSulawesi TengahIMIP

Tim Poskota

Reporter

Febrian Hafizh Muchtamar

Editor