Tawuran Pelajar, Pakar: Warisan Kekerasan yang Mengancam

Selasa 30 Sep 2025, 09:03 WIB
Tawuran antar kelompok di Cipinang, Jakarta Timur menggunakan senjata tajam. (Sumber: Tangkap Layar Instagram/@fakta.indo)

Tawuran antar kelompok di Cipinang, Jakarta Timur menggunakan senjata tajam. (Sumber: Tangkap Layar Instagram/@fakta.indo)

KEBAYORAN BARU, POSKOTA.CO.ID - Fenomena tawuran pelajar yang melibatkan siswa sekolah dan senjata tajam kembali marak terjadi di berbagai daerah.

Meski sering dianggap sebagai “kenakalan remaja”, kriminolog perempuan dan anak, Haniva Hasna, menegaskan bahwa tawuran adalah bentuk nyata dari kriminalitas berbasis subkultur kekerasan.

“Ini bukan sekadar anak nakal. Ini adalah ekspresi dari budaya kekerasan yang diwariskan antar generasi. Di mana kekerasan dianggap simbol keberanian dan kehormatan,” ujar Haniva, saat dihubungi Poskota, Selasa, 30 September 2025.

Menurut Haniva, budaya ini tidak muncul begitu saja. Ada dua faktor utama yang membuat anak-anak terjebak dalam perilaku berbahaya ini.

Yakni Plpergaulan sebaya dan lemahnya ikatan keluarga serta sekolah. Artinya, ketika teman atau senior menanamkan bahwa tawuran adalah cara mendapatkan harga diri, anak-anak akan menirunya. 

Baca Juga: Pembinaan Pelaku Tawuran di Panti Sosial tidak Berbeda dengan Gepeng

"Ditambah lagi, jika mereka tidak mendapatkan perhatian di rumah atau gagal menemukan ruang untuk dihargai di sekolah, maka tawuran menjadi jalan pintas,” jelas Haniva.

Tak hanya itu, kata Haniva, penggunaan senjata tajam dalam tawuran bukan sekadar alat untuk melukai, melainkan juga sebagai simbol kekuasaan dan keberanian. Sebab ada pemahaman di kalangan mereka, semakin sadis tawuran semakin disegani.

“Semakin brutal, semakin disegani. Ini yang membuat banyak anak rela mempertaruhkan masa depan hanya demi status di antara teman sebaya,” tambah Haniva.

Haniva menekankan bahwa orang tua tidak boleh menganggap sepele keterlibatan anak dalam tawuran. Anak yang ikut tawuran sedang belajar menyelesaikan masalah dengan kekerasan.

Kata dia, jika tidak dicegah, ini bisa berlanjut ke bentuk kriminalitas yang lebih berat di masa depan, seperti geng motor atau kejahatan jalanan.

Karena itu, ia menyerukan agar keluarga memperkuat komunikasi, memberikan perhatian nyata, dan aktif dalam mengawasi pergaulan anak.

Baca Juga: Warga Temukan Potongan Jari di Depok, Diduga Milik Remaja Terlibat Tawuran

Nilai-nilai tanggung jawab dan hormat juga harus ditanamkan sejak dini. Sementara itu, sekolah juga memiliki tanggung jawab besar. 

“Tawuran bukan sekadar mencoreng nama sekolah, tapi menyangkut nyawa siswa. Sekolah harus memiliki sistem deteksi dini terhadap perilaku menyimpang, serta menyediakan ruang-ruang positif untuk ekspresi anak, seperti olahraga, seni, dan organisasi,” bebernya.

Lebih dari itu, Haniva mendorong adanya kolaborasi lintas pihak, di antaranya sekolah, orang tua, aparat, hingga sekolah-sekolah yang pernah terlibat konflik.

Hal ini penting untuk memutus rantai dendam antar pelajar yang sering kali diwariskan dari generasi ke generasi.Haniva mengajak masyarakat untuk berhenti menormalisasi tawuran. 

“Jangan bangga jika anak ‘jago berantem’. Sebaliknya, kita perlu membangun norma sosial baru: anak yang patut dihormati adalah yang berprestasi, kreatif, dan membawa nama baik sekolah lewat cara positif," ucap Haniva.

Haniva menegaskan, tawuran pelajar, tegasnya, bukan lagi cerita klasik soal nakalnya anak muda. Ini adalah pintu masuk menuju kriminalitas serius yang bisa merusak masa depan generasi jika terus dibiarkan.

Namun jika kita tangani bersama, oleh keluarga, sekolah, dan masyarakat maka anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang sehat, kuat, dan bermartabat.


Berita Terkait


News Update