KEBAYORAN BARU, POSKOTA.CO.ID - Fenomena tawuran pelajar yang melibatkan siswa sekolah dan senjata tajam kembali marak terjadi di berbagai daerah.
Meski sering dianggap sebagai “kenakalan remaja”, kriminolog perempuan dan anak, Haniva Hasna, menegaskan bahwa tawuran adalah bentuk nyata dari kriminalitas berbasis subkultur kekerasan.
“Ini bukan sekadar anak nakal. Ini adalah ekspresi dari budaya kekerasan yang diwariskan antar generasi. Di mana kekerasan dianggap simbol keberanian dan kehormatan,” ujar Haniva, saat dihubungi Poskota, Selasa, 30 September 2025.
Menurut Haniva, budaya ini tidak muncul begitu saja. Ada dua faktor utama yang membuat anak-anak terjebak dalam perilaku berbahaya ini.
Yakni Plpergaulan sebaya dan lemahnya ikatan keluarga serta sekolah. Artinya, ketika teman atau senior menanamkan bahwa tawuran adalah cara mendapatkan harga diri, anak-anak akan menirunya.
Baca Juga: Pembinaan Pelaku Tawuran di Panti Sosial tidak Berbeda dengan Gepeng
"Ditambah lagi, jika mereka tidak mendapatkan perhatian di rumah atau gagal menemukan ruang untuk dihargai di sekolah, maka tawuran menjadi jalan pintas,” jelas Haniva.
Tak hanya itu, kata Haniva, penggunaan senjata tajam dalam tawuran bukan sekadar alat untuk melukai, melainkan juga sebagai simbol kekuasaan dan keberanian. Sebab ada pemahaman di kalangan mereka, semakin sadis tawuran semakin disegani.
“Semakin brutal, semakin disegani. Ini yang membuat banyak anak rela mempertaruhkan masa depan hanya demi status di antara teman sebaya,” tambah Haniva.
Haniva menekankan bahwa orang tua tidak boleh menganggap sepele keterlibatan anak dalam tawuran. Anak yang ikut tawuran sedang belajar menyelesaikan masalah dengan kekerasan.
Kata dia, jika tidak dicegah, ini bisa berlanjut ke bentuk kriminalitas yang lebih berat di masa depan, seperti geng motor atau kejahatan jalanan.