Oleh: Yudhie Haryono (CEO Nusantara Centre)
Ini, ultima manusia Indonesia. Dengan warisan DNA besar dan kekayaan alam sangat besar, mestinya itu takdir mudah digapai. Namun, bagaimana faktanya? Mari kita telusuri bersama.
Secara umum, Indonesia mengalami kelambanan dalam capaian takdir itu. Yang ada hanya juara satu tingkat pengangguran di Asean, mata uang terlemah di Asia, index konflik terburuk di dunia, tingkat utang, keterbelahan dan kerentanan yang stabil. Tentu, semua hadir karena beberapa hal.
Pertama, tidak ada kepemimpinan yang kuat dan bersih. 20 tahun kita terperangkap dalam kepemimpinan presidensil berwatak presidensial. Mereka yang memimpin dijerat oleh mayorokrasi pemilih dan minorokrasi pemodal.
Baca Juga: Ekonomika Pancasila: Rekapitalisasi Kekayaan Nasional (1)
Kedua, belum ada sistem ekopol yang sesuai jati diri. Sejauh yang dialami, kita memilih menggunakan sistem asing-aseng-asong yang tidak sesuai jati diri. Sistem yang justru kita bangga jadi budak budaknya para budak bangsa (lain).
Ketiga, ketimpangan infrastruktur yang akut. Pembangunan infrastruktur di Indonesia masih sangat terpusat di Pulau Jawa dan sebagian kecil wilayah lain seperti Sumatera atau Bali, sementara daerah-daerah lain seperti Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara masih menghadapi minimnya akses jalan layak, listrik terbatas, hingga fasilitas komunikasi yang tidak optimal.
Keempat, kualitas pendidikan yang stagnan. Sistem pendidikan Indonesia masih jauh dari kata ideal. Kurikulumnya kurang relevan dengan kebutuhan zaman serta minimnya fasilitas dan pendidik, terutama di pedesaan.
Kelima, suburnya budaya KKN. Korupsi menggerogoti dana publik yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Semua ditajamkan oleh praktik kolusi dan nepotis yang menjijikkan.
Baca Juga: Ekonomika Pancasila: Demi Nasionalisasi
Keenam, ketergantungan pada ekspor bahan baku dan impor barang jadi. Indonesia masih mengandalkan ekspor bahan mentah sebagai sumber pendapatan utama. Itu membuat negara rentan terhadap fluktuasi harga pasar global.
Ketujuh, hobi ekspor tenaga babu dan impor tenaga ahli. Pola dan praktik ini sudah 80 tahun tidak berubah. Kita tak peduli pada nasib dan martabat kemanusiaan.
Kedelapan, keadaan demografi belum teratasi. Tingginya angka pengangguran, urbanisasi tak terkendali, dan disparitas gender dalam pekerjaan masih menjadi problem tanpa solusi.
Kesembilan, lemahnya tradisi industri. Indonesia masih tertinggal dalam hal adopsi teknologi, baik di sektor industri maupun kehidupan sehari-hari.
Baca Juga: Ekonomika Pancasila: Amok Kaum Miskin
Kesepuluh, hancurnya hukum dan penegaknya. Sistem hukum yang kuat adalah fondasi dari sebuah negara maju, namun Indonesia memilih menghancurkan hukum dan menghidupi mafia, kartel plus genk.
Kesebelas, kegagalan membangun sistem masyarakat bermoral dan etika berkehidupan. Agama-agama yang ada masih berkutat di saleh ritual, gagal saleh sosial. Asketis dan hidup seperlunya dijauhi, riya dan dengki ditradisi.
Apa solusinya? Bikin masyarakat sehat yang mampu mendesain sistem ekopol pancasila sehingga melahirkan pemimpin jenius. Pemimpin dan masyarakat yang melahirkan sekumpulan patriot penghadir ekopol kaya plus bahagia. Mestakung.