CIKARANG BARAT, POSKOTA.CO.ID – Koordinator Pengawas KCD Wilayah III Kabupaten Bekasi, Rojali, menegaskan kasus perundungan yang menimpa AAI, 16 tahun, siswa SMKN 1 Cikarang Barat, terjadi di luar pantauan sekolah.
“Pada intinya memang kasus tersebut terjadi di luar pantauan pihak sekolah. Dan pihak sekolah sudah sering menginstruksikan, mengupayakan agar tidak ada lagi kekerasan di sekolah,” kata Rojali, Jumat, 19 September 2025.
Menurutnya, sekolah berulang kali mengingatkan siswa agar tidak melakukan bullying. Bahkan setiap awal tahun ajaran baru selalu ditegaskan pesan stop bullying.
“Sudah ada ucapan-ucapan itu. Namun seperti sudah menjadi warisan bahwa anak-anak SMK atau STM itu memiliki gaya seperti itu,” ujarnya.
Baca Juga: Imbang di Laga Perdana AFC, Bojan Hodak Alihkan Fokus Persib ke Arema
Saat ini, kata Rojali, pihak sekolah tengah memediasi keluarga korban dan keluarga pelaku.
“Sekarang pun memang pihak sekolah sudah mengupayakan, menjembatani atau memediasi antara pihak orang tua yang menjadi korban dengan orang tua pelaku,” jelasnya.
Namun ia mengakui ada ketidakpuasan dari pihak keluarga korban.
“Memang seperti itu, ketidakpuasan pasti ada. Dalam kasus ini pihak KCD juga sudah berusaha. Hari ini kami dipanggil oleh dewan untuk memberikan keterangan,” terang Rojali.
Ia menambahkan, Dinas Pendidikan tengah menggalakkan Gerakan Pancawaluya untuk meminimalisir kasus kekerasan di sekolah.
“Sekolah diharapkan menjadi tempat yang joyful, penuh kebahagiaan, tanpa ketidaknyamanan,” katanya.
Meski begitu, Rojali menyebut masih ada tantangan di SMK yang terbawa tren lama.
“Nah itu yang masih kebawa. Ke depan kami akan usahakan dengan upaya-upaya Pancawaluya ini,” tegasnya.
Terkait sanksi pelaku, ia mengatakan masih menunggu hasil mediasi.
“Ya, kami belum tahu sanksi seperti apa. Sekarang masih dimediasi,” ucapnya.
Kapolsek Cikarang Barat, AKP Tri Baskoro Bintang Wijaya, mengatakan pihaknya sudah menerima laporan dan memeriksa 11 saksi, mulai dari orang tua korban, guru, hingga pelajar. Dari sembilan pelajar yang diamankan, statusnya masih saksi.
“Sejauh ini kami sudah mengamankan dan meminta keterangan beberapa saksi. Dari sembilan anak yang sudah kami amankan, statusnya masih menjadi saksi,” jelasnya.
Namun penyidik akan mendalami kemungkinan peningkatan status menjadi Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH).
Sebelumnya, ayah korban, Indra Prahasta, 41 tahun, menuturkan putranya dipaksa ke lapangan belakang sekolah saat jam istirahat pada Selasa, 2 September 2025.
Baca Juga: 3 Prompt Gemini AI untuk Edit Foto Sendiri di Studio
“Posisinya mereka berjejer mukulin anak saya satu per satu. Satu orang bisa mukul sampai delapan kali. Setelah selesai, bergeser, lalu giliran yang lain,” kata Indra.
Akibat penganiayaan itu, AAI mengalami rahang patah dan sobekan di rongga mulut hingga harus menjalani operasi bedah pada 5 September.
“Kondisinya masih lemah. Makan dan minum lewat selang, berat badan turun, sering mual dan muntah. Kalau banyak bicara tenggorokannya sakit,” jelas Indra. (cr-3)