“Masyarakat akan terlibat aktif menjaga lingkungan sekitar, jika kebijakan soal lingkungan itu memihak dan memberi banyak manfaat bagi kehidupan dan lingkungan sekitar. Sebalikya, akan berpangku tangan menyaksikan kerusakan lingkungan, jika kebijakan hanya menguntungkan sekelompok elite..”, kata Harmoko.
Air sebagai sumber kehidupan itu pasti. Keberlangsungan semua makhluk hidup di bumi ini membutuhkan air, tak hanya manusia, hewan maupun tumbuhan. Pertanian perlu air, irigasi, industri juga perlu air, begitupun proses produksi lainnya.
Patut diapresiasi jika salah satu program unggulan Presiden Prabowo Subianto yang sudah dijalankan tak hanya mewujudkan swasembada pangan, tetapi juga air dan energi.
Kebijakan terhadap ketiga sektor ini harus seiring sejalan. Ini dapat dapat dipahami, tanpa ketersediaan air yang mencukupi, kesinambungan swasembada pangan hanyalah mimpi di siang hari.
Baca Juga: Kopi Pagi: Arah Demokrasi Kita
Itulah sebabnya pembangunan infrastruktur air dan pengolahan sumber daya air yang efektif menjadi sangat penting guna memastikan ketersediaan dan pasokan air yang berkelanjutan bagi kebutuhan masyarakat, pertanian dan industri.
Bicara soal air, tentunya air bersih, air yang tidak tercemar bakteri dan zat kimia bagi kebutuhan pertanian dan industri serta kehidupan masyarakat seperti mencuci dan mandi. Belum lagi air bersih dan sehat yang langsung dapat diminum dari kran, tak perlu repot harus dimasak terlebih dahulu.
Begitu pentingnya air sebagai sumber kehidupan menjadikan PBB menetapkan Hari Air Sedunia yang diperingati setiap tanggal 22 Maret. Bahkan, sebuah organisasi internasional pun menetapkan setiap 18 September sebagai Hari Pemantauan Air Sedunia.
Kedua kegiatan tersebut dimaksudkan mengedukasi masyarakat untuk merawat, melestarikan serta melindungi sumber air untuk mendukung pertanian,industri, energi, dan ekosistem global. Secara teratur memantau dan menguji untuk menghindari polusi dan perubahan iklim, termasuk mencegah krisis air.
Sejatinya negeri kita diakui dunia subur makmur, gemah ripah loh jinawi (memiliki kekayaan alam yang berlimpah). Itu di antaranya karena Indonesia diberi karunia adanya musim kemarau dan penghujan yang menjadikan segala jenis tanaman dapat tumbuh subur.
Namun, tidak terbantahkan ketika musim hujan kebanjiran, begitu kemarau datang, kering kerontang. Air pun menjadi barang langka.
Baca Juga: Kopi Pagi: “Empat Aksi” Merespons Situasi
Hasil studi sejumlah akademisi menyebutkan kekeringan terjadi karena daerah resapan yang kian berkurang akibat makin sedikitnya pohon yang ditanam. Di sisi lain, peralihan lahan pertanian menjadi industri tidak dibarengi dengan lahan pengganti.
Data menyebutkan setiap tahun rata – rata 16 ribu hektar alih fungsi lahan pertanian. Sementara kehilangan hutan jumlahnya lebih besar lagi, mencapai ratusan ribu hektar per tahun.
Perilaku tidak hemat air, juga ikut andil menjadi penyebab kekeringan. Memang air bekas pakai, yang kita buang akan meresap dalam tanah menjadi sumber air baru. Sayangnya tidak semua air dapat meresap dalam tanah karena tidak cukup tersedia daerah resapan. Akibatnya sebagian air buangan akan menguap terkena sinar matahari. Siklus demikian yang terus berlanjut membuat sumber air kian berkurang.
Belum lagi efek perubahan iklim menjadi salah satu faktor yang perlu diantisipasi dan diwaspadai karena kekeringan kian meningkat, ancaman kekurangan air semakin nyata.
Kuncinya ada pada kita semua bagaimana menyeimbangkan pola hidup serasi dan bersahabat dengan lingkungan. Menyatu dengan alam, bukan merusaknya.
Pentingnya harmonisasi antara manusia dan alam sekitar serta sesama untuk menciptakan keindahan, keselamatan dan kebahagian bersama. Dalam pepatah bahasa Jawa disebut “Memayu hayuning bawana.”
Ini bisa dimulai sejak dini melalui kebiasaan (habit) dari lingkungan terkecil, keluarga hingga lebih luas lagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan mengeluarkan kebijakan peduli lingkungan, bukan merusaknya.
Alih fungsi lahan tidak boleh semena – mena, hanya demi pembangunan fisik. Pembangunan infrastruktur hendaknya tak semata fokus mengejar target pertumbuhan ekonomi 8 persen, tanpa mempertimbangkan aspek sosial dan lingkungannya. Tidak abai terhadap keberlangsungan kualitas kehidupan manusia dan lingkungan sekitarnya, rusaknya sumber - sumber air bagi kehidupan.
Banjir bandang dan tanah longsor misalnya terjadi karena tidak menjaga keseimbangan lingkungan dengan semakin sempitnya ruang terbuka hijau sebagai resapan air. Banyak bangunan penunjang pariwisata hingga perumahan berdiri di wilayah terlarang seperti sempadan sungai dan kawasan persawahan.
Baca Juga: Kopi Pagi: Jujurlah Koreksi Diri
Peduli lingkungan perlu kebijakan konkret, bukan sebatas gerakan moral berupa ajakan dan imbauan pemerintah, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Masyarakat akan terlibat aktif menjaga lingkungan sekitar, jika kebijakan soal lingkungan yang digulirkan itu memihak dan memberi banyak manfaat bagi kehidupan dan lingkungan sekitar.
Sebalikya, masyarakat akan berpangku tangan menyaksikan kerusakan lingkungan, jika kebijakan hanya menguntungkan sekelompok elite.
Lantas bagaimana dengan kita?Jawabnya menyatu dengan alam berarti peduli dengan alam sekitar. Tak hanya merawat dan menjaganya, juga melestarikannya, termasuk perilaku hemat air.
Mari kita menyatu dengan alam guna mendukung terwujudnya swasembada pangan, energi dan air. (Azisoko)