CILANDAK, POSKOTA.CO.ID - Gubernur Jakarta, Pramono Anung, memastikan bahwa Raperda tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang saat ini tengah dibahas oleh Pansus DPRD DKI, tidak akan berdampak negatif terhadap pelaku UMKM, termasuk warung makan sederhana seperti warteg.
Hal ini disampaikan Pramono merespons kekhawatiran sejumlah pelaku usaha warteg di Jakarta yang sebelumnya menilai aturan KTR berpotensi menurunkan omzet.
“Pasti perda itu tidak akan membuat UMKM menurun. Saya ketika menyampaikan ke DPRD, salah satu konsen saya itu,” ujar Pramono Anung di Cilandak, Jakarta Selatan, Senin, 15 September 2025.
Pramono menjelaskan, pembatasan aktivitas merokok melalui Perda KTR hanya berlaku di tempat-tempat dengan ruangan tertutup.
Baca Juga: Pansus DPRD Jakarta Pastikan Kawasan Tanpa Rokok Tak Masuk Warteg
Dengan demikian, UMKM seperti warteg yang umumnya beroperasi di ruang terbuka atau semi terbuka tidak akan terdampak langsung.
“Jadi pembatasan yang dilakukan tanpa rokok itu hanya di tempat-tempat yang tertutup, yang dimana UMKM enggak pernah jualan di situ,” ungkap dia.
Jangan Merugikan UMKM
Sementara itu, pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah, menilai, Pemprov DKI Jakarta dan DPRD harus lebih memperhatikan suara para pelaku usaha kecil dalam pembahasan Raperda KTR.
Menurut Trubus, penerapan aturan secara ketat dikhawatirkan justru akan membebani dan merugikan pelaku UMKM seperti pemilik warteg, yang selama ini bergantung pada pelanggan kalangan menengah ke bawah, termasuk pekerja informal dan buruh.
“Ya kalau saya sih sebenarnya DPRD harus mendengarkan suara para pelaku warteg ini. Jangan sampai kebijakan KTR ini, justru membebani para warteg,” kata Trubus kepada Poskota, Senin, 15 September 2025.
"Karena selama ini warteg memperoleh tambahan keuntungan dari jual nasi itu. Tapi kalau KTR ini dilarang semuanya, otomatis mereka tidak akan mendapatkan keuntungan," jelasnya.
Trubus menekankan, filosofi dasar dari KTR sebenarnya adalah menciptakan kawasan bebas asap rokok, bukan semata-mata melarang aktivitas merokok di semua tempat makan.
Diterapkan Fleksibel
Oleh karena itu, aturan tersebut sebaiknya diterapkan dengan fleksibel, agar tidak menimbulkan persoalan baru di lapangan.
“Pemprov DKI seharusnya tidak menerapkan KTR ini secara ketat, jadi lebih fleksibel saja. Karena di dalam aturan pun sebenarnya filosofinya kawasan tanpa rokok," ujarnya.
"Tapi kalau warteg dipaksa untuk menyediakan ruang merokok, itu repot. Ruangannya kecil, banyak yang hanya sewa ruangan kecil,” kata Trubus.
Trubus mencontohkan luas area warteg yang biasanya terbatas, mustahil untuk menyediakan area khusus merokok seperti halnya restoran besar.
“Kalau jenis warteg Kharisma, misalnya, itu kan jumlahnya paling banyak. Tapi kalau disuruh menyediakan tempat rokok, jelas nggak sanggup. Karena ruangannya kecil, ukurannya terbatas,” ujarnya.
Baca Juga: Pansus Pastikan Raperda Kawasan Tanpa Rokok Jakarta Tidak Rugikan Pedagang Kecil
Menurutnya, Pemprov DKI harus benar-benar mempertimbangkan urgensi penerapan KTR agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap masyarakat menengah ke bawah.
Pasalnya, warteg merupakan salah satu tulang punggung konsumsi harian bagi pekerja dengan penghasilan terbatas.
“Menurut saya ini harus menjadi perhatian dari Pemprov sendiri, apakah urgent atau tidak mengenai KTR ini. Jangan sampai aturan KTR ini justru berdampak ke masyarakat bawah, masyarakat menengah ke bawah, masyarakat kecil,” ungkap Trubus.
Trubus meminta agar DPRD dan Pemprov lebih mendengarkan masukan dari pelaku UMKM sebelum memutuskan kebijakan yang bersentuhan langsung dengan keberlangsungan usaha mereka.
“Intinya, aturan ini harus dipertimbangkan matang. Jangan sampai semangat menjaga kesehatan justru memberatkan rakyat kecil,” ujarnya. (cr-4)