POSKOTA.CO.ID - Ahmad Sahroni, politisi yang sebelumnya menjabat Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi NasDem, dikenal sebagai sosok yang vokal dalam menyampaikan pandangan politik. Namun, kali ini pernyataannya menimbulkan badai besar.
Dalam sebuah kesempatan, Sahroni menyebut bahwa pendukung pembubaran DPR adalah “mental orang tolol sedunia.” Ucapan bernada kasar ini segera menyulut amarah masyarakat yang merasa dilecehkan.
Kritik terhadap lembaga negara dianggap wajar, tetapi melabeli rakyat dengan kata hinaan menyinggung perasaan publik secara luas.
Masyarakat bisa menerima kritik balik dari wakil rakyat, tetapi ketika bahasa yang digunakan mengandung penghinaan, hubungan kepercayaan antara rakyat dan wakilnya runtuh.
Baca Juga: Direktur Lokataru Delpedro Marhaen Diamankan Polisi
Ledakan Amarah Publik di Tanjung Priok
Puncak kemarahan masyarakat terjadi pada Sabtu, 30 Agustus 2025, di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Ratusan warga mendatangi rumah pribadi Ahmad Sahroni. Awalnya, massa hanya berteriak dan melempari pagar. Namun situasi semakin tak terkendali.
Kerusuhan pecah: pagar rumah dirusak, CCTV dipatahkan, kaca jendela dilempari batu. Beberapa orang bahkan nekat masuk ke dalam rumah. Barang-barang berharga pun dijarah tanpa ampun.
Kerugian Sahroni akibat penjarahan mencakup:
- Jam tangan mewah dengan nilai ditaksir Rp11 miliar
- Koleksi action figure langka
- Sertifikat tanah dan dokumen penting, termasuk ijazah
- Brankas berisi uang tunai rupiah dan dolar
Kerugian ini bukan sekadar materi, tetapi juga simbol runtuhnya rasa hormat masyarakat terhadap sosok politisi yang seharusnya mewakili mereka.
Hoaks Dildo yang Memperkeruh Situasi
Di tengah kericuhan, beredar sebuah foto yang diklaim menunjukkan benda menyerupai dildo di rumah Sahroni. Foto itu menyebar cepat di media sosial, memunculkan berbagai spekulasi dan komentar satir.
Namun, sejumlah pihak membantah klaim tersebut. Salah satunya akun Twitter @KPHYudi yang menegaskan bahwa kabar itu hoaks. “Yang post dildo katanya di rumah Syahroni, itu hoaks. Tolong dicek dan ricek lagi,” tulisnya.
Fakta sejauh ini: tidak ada bukti valid bahwa benda tersebut benar-benar ditemukan di rumah Sahroni. Besar kemungkinan isu ini hanyalah bagian dari disinformasi yang sengaja disebarkan di tengah kerusuhan untuk memperburuk citra politisi tersebut.
Hoaks ini menunjukkan sisi gelap media sosial: bagaimana sebuah foto tanpa verifikasi bisa mempermalukan seseorang dan memperkeruh suasana.
Dampak Politik: NasDem Ambil Sikap Tegas
Setelah kontroversi membesar, Partai NasDem akhirnya mengambil langkah tegas. Melalui surat keputusan yang ditandatangani oleh Ketua Umum Surya Paloh dan Sekretaris Kabinet Hermawi F. Taslim, Ahmad Sahroni dinonaktifkan dari jabatannya sebagai anggota DPR RI Fraksi NasDem mulai 1 September 2025.
Menariknya, dalam surat yang sama, nama artis sekaligus politisi Nafa Urbach juga disebut ikut dinonaktifkan. Meski alasan detailnya berbeda, keduanya dianggap menimbulkan kegaduhan publik yang merugikan citra partai.
Langkah ini menandai bagaimana partai politik sering terjebak dalam dilema antara melindungi kader dan menjaga kepercayaan publik. Dalam kasus ini, NasDem memilih opsi kedua: menyelamatkan citra partai meski harus “mengorbankan” kader populer.
Mengurai Perspektif Publik: Antara Kemarahan dan Kejenuhan
Kasus Sahroni menunjukkan bahwa hubungan antara rakyat dan elite politik semakin rapuh. Ada rasa jenuh yang mendalam: rakyat lelah dengan bahasa kasar, arogansi, dan ketidakpekaan para pejabat.
Dari perspektif manusia biasa, marah adalah hal wajar ketika merasa diremehkan. Namun, aksi main hakim sendiri seperti penjarahan jelas tidak bisa dibenarkan. Inilah dilema moral yang muncul: di satu sisi, rakyat merasa tersakiti; di sisi lain, tindak kekerasan merusak tatanan hukum dan keadilan.
Banyak pengamat menyebut peristiwa ini sebagai “cermin krisis komunikasi politik.” Ketika wakil rakyat gagal menggunakan bahasa yang bijak, jarak antara rakyat dan institusi negara semakin melebar.
Hoaks, Media Sosial, dan Erosi Kepercayaan
Kasus dildo hoaks menjadi simbol lain dari rapuhnya ruang publik kita. Media sosial seharusnya menjadi kanal transparansi dan partisipasi, tetapi justru sering dipakai sebagai arena pembunuhan karakter.
Fenomena ini memberi pelajaran penting: masyarakat perlu membekali diri dengan literasi digital agar tidak mudah percaya pada setiap konten viral. Sementara itu, para politisi juga harus sadar bahwa di era digital, setiap kata, tindakan, bahkan rumor bisa menjadi bola salju yang merusak reputasi.
Baca Juga: Direktur Lokataru Delpedro Marhaen Diamankan Polisi
Apa yang Bisa Dipetik?
Dari seluruh rangkaian peristiwa ini, ada beberapa pelajaran berharga:
- Bahasa politik harus santun. Seorang wakil rakyat perlu memahami bahwa kritik publik adalah bagian dari demokrasi, bukan alasan untuk menghina rakyat.
- Kemarahan publik harus dikelola. Kekerasan dan penjarahan tidak pernah menyelesaikan masalah, justru menambah luka sosial.
- Hoaks merusak ruang publik. Setiap orang punya tanggung jawab moral untuk memverifikasi informasi sebelum menyebarkannya.
- Partai politik harus berani bersikap. Langkah NasDem menonaktifkan kader kontroversial bisa menjadi contoh bahwa citra partai lebih penting daripada mempertahankan individu.
Kisah Ahmad Sahroni bukan hanya cerita tentang seorang politisi yang tersandung ucapannya. Ini adalah refleksi lebih luas tentang bagaimana rakyat memandang wakilnya, bagaimana partai menjaga citra, dan bagaimana media sosial bisa memperkeruh atau memperjelas realitas.
Bagi masyarakat, peristiwa ini bisa menjadi pengingat bahwa demokrasi bukan sekadar tentang memilih wakil rakyat, tetapi juga soal menjaga etika, komunikasi, dan kepercayaan. Sementara bagi politisi, kasus ini menjadi alarm bahwa setiap kata memiliki konsekuensi besar.
Jika ada yang bisa dipetik, maka peristiwa ini seharusnya mendorong kita semua rakyat, politisi, hingga media untuk lebih bijak, lebih santun, dan lebih bertanggung jawab dalam menjalankan peran masing-masing.