Memasuki era 2000-an, digitalisasi mengubah wajah pasar modal. Kehadiran Jakarta Automated Trading System (JATS) membuat transaksi lebih cepat dan transparan. Perusahaan sekuritas juga bersaing menawarkan setoran awal rendah, bahkan mulai dari Rp0.
Kini, investor bisa membuka akun sekuritas hanya dengan smartphone. Jika dulu jumlah investor terhitung puluhan ribu, pada Desember 2024 KSEI mencatat lebih dari 14,84 juta investor terdaftar.
Pertumbuhan ini tidak lepas dari inisiatif 927 Galeri Investasi BEI yang hadir di kampus, sekolah, hingga kafe, membawa pasar modal lebih dekat dengan masyarakat.
Main Saham vs. Investasi Saham: Dua Dunia Berbeda
Perdebatan terbesar tentang saham adalah membedakan antara “bermain saham” dan “berinvestasi saham”.
- Main Saham: spekulatif, jangka pendek, mengejar selisih harga harian. Ibarat berjudi, strategi ini sering mengabaikan kondisi fundamental perusahaan. Contohnya membeli saham perusahaan merugi hanya karena ada rumor pergerakan harga. Risiko kerugian sangat tinggi.
- Investasi Saham: membeli sebagian kepemilikan bisnis perusahaan. Investor bijak menganalisis laporan keuangan, prospek industri, hingga manajemen perusahaan. Orientasi utamanya jangka panjang, mencari pertumbuhan nilai bisnis yang berkelanjutan.
Bagi masyarakat awam yang masuk tanpa edukasi, saham bisa terasa seperti perjudian. Namun, bagi investor terdidik, saham adalah alat akumulasi aset dan jalan menuju kemandirian finansial.
Baca Juga: Mau Liburan ke Dufan Jakarta? Cek Harga Tiket Terbaru, Fasilitas, dan Wahana Paling Seru
Pentingnya Edukasi Pasar Modal Sejak Dini
Sri Mulyani menekankan bahwa literasi pasar modal harus diajarkan sejak sekolah dasar. Mengapa?
- Membedakan investasi sehat dari spekulasi
Dengan edukasi, anak-anak belajar bahwa saham bukan sekadar angka yang naik-turun, melainkan representasi kepemilikan sebuah perusahaan. - Mencegah jebakan investasi bodong
Banyak kasus masyarakat tergiur “cuan cepat” dari investasi ilegal. Dengan literasi sejak dini, mereka bisa mengenali tanda-tanda penipuan. - Membangun kebiasaan menabung produktif
Konsep “Yuk Nabung Saham” yang digalakkan BEI adalah langkah praktis untuk membentuk budaya menabung produktif, bukan konsumtif.
Jika ditarik dari pengalaman nyata, banyak orang masuk ke saham dengan harapan cepat kaya, lalu kecewa ketika harga anjlok. Ada rasa takut, trauma, bahkan dendam pada pasar modal.
Namun, ada juga kisah inspiratif seorang mahasiswa yang rutin menyisihkan Rp500 ribu per bulan untuk membeli saham bluechip, lalu 10 tahun kemudian bisa membiayai kuliah S2 dari hasil investasinya.
Perbedaan hasil ini bukan karena pasar modal pilih kasih, melainkan karena perbedaan literasi, kesabaran, dan strategi. Inilah esensi investasi kesadaran bahwa hasil besar datang dari waktu, disiplin, dan pengetahuan.
Pernyataan Presiden Prabowo membuka diskusi penting tentang realitas pasar modal. Benar, tanpa literasi, saham bisa menjadi “permainan judi” yang hanya menguntungkan pihak besar. Namun dengan edukasi yang tepat, saham adalah kendaraan finansial yang adil dan inklusif.
Pasar modal bukanlah sekadar layar angka yang berfluktuasi setiap detik, melainkan representasi dari ekonomi riil: bisnis, tenaga kerja, dan inovasi.