Kapolri telah meminta maaf, namun publik menuntut lebih dari sekadar permintaan maaf. Transparansi investigasi menjadi tuntutan utama.
- Identifikasi aparat di lapangan → siapa yang mengemudikan rantis saat insiden?
- Audit prosedur pengamanan → apakah ada pelanggaran SOP?
- Pemeriksaan akun IG @dhaniccc_26 → apakah benar milik anggota Brimob yang terlibat?
Tanpa langkah konkret, permintaan maaf hanya akan dianggap simbolis.
Akun Instagram @dhaniccc_26 menjadi bukti bagaimana media sosial bisa menjadi saksi sejarah. Dalam hitungan jam, story yang seharusnya hanya bertahan 24 jam bisa terekam, dibagikan ulang, dan menjadi bahan investigasi publik.
Fenomena ini menunjukkan dua sisi:
- Positif: masyarakat memiliki alat kontrol sosial melalui rekaman digital.
- Negatif: informasi yang tidak jelas asal-usulnya bisa memicu spekulasi liar dan memperkeruh suasana.
Di sinilah pentingnya literasi digital. Publik perlu memahami perbedaan antara fakta, dugaan, dan hoaks.
Kisah Affan Kurniawan dan Moh Umar Amirudin akan tercatat sebagai bagian kelam perjalanan demokrasi Indonesia. Namun, tragedi ini juga menjadi cermin untuk evaluasi: bagaimana aparat harus lebih manusiawi, bagaimana teknologi digital membuka ruang kontrol sosial, dan bagaimana rakyat kecil sering kali menjadi korban yang terlupakan.
Misteri siapa pemilik akun Instagram @dhaniccc_26 mungkin akan terungkap melalui investigasi resmi. Namun, yang jauh lebih penting adalah memastikan tragedi serupa tidak kembali terjadi.
Karena demokrasi sejati hanya bisa hidup bila aspirasi rakyat didengar, aparat menghormati martabat manusia, dan korban tragedi tidak hanya dikenang, tetapi juga mendapat keadilan.