BANDUNG BARAT, POSKOTA.CO.ID - Bara konflik agraria di Desa Pagerwangi, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat (KBB), kembali menyala.
Ratusan warga RW 07 Pagermaneuh dan RW 12 Sukasari resah. Itu lantaran lahan garapan yang sudah mereka kelola selama puluhan tahun terancam dieksekusi.
Ketua Serikat Petani Pasundan (SPP) KBB, Yuyun, menegaskan rencana eksekusi itu cacat hukum. Ia merujuk Keputusan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 19-VIII-1997, yang membatalkan sejumlah sertifikat lama dan menyatakan tanah tersebut kembali menjadi milik negara.
"Kalau sudah tanah negara, logikanya tidak bisa jadi objek eksekusi untuk kepentingan pihak lain," kata Yuyun, Selasa 26 Agustus 2025.
Baca Juga: Sengketa Lahan SMAN 1 Bandung: PTUN Kabulkan Gugatan PLK, Sekolah Terancam Tergusur
Menurut Yuyun, dia mengutip surat keputusan Dirjen Badilum MA Nomor 40/DJU/SK/HM.02.3./1/2019 tentang pedoman eksekusi di Pengadilan Negeri. Dalam aturan itu, tanah yang sudah berubah status menjadi tanah negara tidak bisa dieksekusi.
"Jika dipaksakan, itu bukan hanya cacat hukum, tapi, termasuk pelanggaran serius terhadap hak-hak rakyat kecil," imbuhnya.
Diakuinya, sejarah tanah Pagerwangi memang penuh kerumitan. Warga menyebut, kawasan itu pernah dikaitkan dengan pembebasan lahan oleh swasta hingga dipakai sebagai lokasi latihan militer.
"Ketidakjelasan status itulah yang membuat petani kecil selalu dihantui rasa waswas," tambahnya.
Dia berharap, negara jangan lupa, yang digusur itu, bukan sekadar lahan, tapi rakyat yang puluhan tahun menggarap dan hidup di sana.
"Kalau tanah ini (milik) negara, biarkan rakyat mengelolanya untuk pangan, bukan untuk yang lain," ucap Yunyun.
Sementara itu, di balik sengketa hukum tersebut, ada kisah nyata petani kecil bernama Engkus Kusnadi, 65 tahun, warga RW 07. Dia sudah menggarap lahan tersebut sejak tahun1979.
"Dari tanah itulah ia bisa membesarkan anak-anaknya hingga kuliah," ujar Engkus, Selasa, 26 Agustus 2025.
Sejak bertani, Engkus memilih sejumlah tanaman seperti palawija, tomat, cabai, dan kol. Akan tetapi, sekarang sebagian lahan telah dipakai orang meskipun masih ada sekitar 1.200 meter yang masih digarap.
"Jadi disitu saya tidak hanya ngandelin bertani saja. Saya bikin warung kecil buat tambah penghasilan," katanya.
Hingga saat ini, hasil tani dan warung sederhana itu menjadi tumpuan ekonomi keluarga.
“Alhamdulillah, dari tanah ini anak-anak bisa sekolah. Kalau dieksekusi, bukan hanya tanah yang hilang, tapi masa depan anak cucu kami," ungkapnya.