POSKOTA.CO.ID - Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, terus melakukan monitoring ketat terhadap perkembangan pembangunan Jalan Tol Harbour II.
Proyek ini merupakan salah satu proyek prioritas yang diharapkan menjadi solusi permanen bagi persoalan kemacetan kronis di jalur arteri menuju Pelabuhan Tanjung Priok.
Sejak awal digagas, tol ini bukan hanya sekadar proyek infrastruktur, melainkan juga simbol percepatan pembangunan Jakarta sebagai kota megapolitan yang modern.
Bagi pemerintah, tol Harbour II adalah investasi jangka panjang yang mampu memperkuat daya saing ekonomi ibu kota sekaligus memperlancar distribusi logistik nasional.
Jakarta, Provinsi Terkaya dan Termaju
Jakarta dikenal sebagai provinsi dengan pendapatan terbesar di Indonesia. Data BPS DKI Jakarta menunjukkan, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku triwulan II 2025 mencapai Rp976,63 triliun, sementara atas dasar harga konstan 2010 mencapai Rp563,09 triliun.
Pendapatan ini mencerminkan kapasitas ekonomi Jakarta yang terus bertumbuh pesat. Namun, pertumbuhan ini juga menuntut infrastruktur yang seimbang. Dengan jumlah penduduk lebih dari 11 juta jiwa, kebutuhan akan jalan bebas hambatan baru yang bisa mengurai beban lalu lintas menjadi sangat mendesak.
Detail Proyek Jalan Tol Harbour II
Jalan Tol Harbour II memiliki panjang 9,6 km dengan konstruksi elevated (jalan layang). Tol ini membentang dari Ancol Timur hingga Pluit, dan akan terintegrasi dengan akses menuju Pelabuhan Tanjung Priok serta Bandara Soekarno–Hatta.
Kepala BPJT Kementerian Pekerjaan Umum, Wilan Oktavian, menjelaskan bahwa tol ini dibangun dengan investasi Rp15,8 triliun oleh PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP). Hingga pertengahan 2025, progres pembangunan telah mencapai 25 persen. Sementara itu, proses pembebasan lahan telah berjalan 80 persen dari kebutuhan total seluas 39 hektare.
Konektivitas yang Diharapkan
Tol Harbour II dirancang untuk mendukung mobilitas dan konektivitas Jakarta Utara secara lebih menyeluruh. Ada tiga tujuan utama yang ingin dicapai:
- Mengurai kemacetan Tol Harbour I
Jalan tol sebelumnya, Harbour Road I, sudah tidak lagi mampu menampung volume kendaraan yang sangat tinggi. Dengan hadirnya jalur kedua, distribusi arus kendaraan akan lebih merata. - Meningkatkan akses logistik nasional
Sebagai pelabuhan tersibuk di Indonesia, Tanjung Priok membutuhkan jalur distribusi yang cepat dan efisien menuju kawasan industri, bandara, hingga provinsi tetangga. - Mendukung pembangunan kota berkelanjutan
Jakarta yang terus berkembang memerlukan infrastruktur transportasi yang modern, tidak hanya untuk kendaraan pribadi tetapi juga untuk menopang distribusi barang dalam skala besar.
Dampak Sosial: Antara Harapan dan Kekhawatiran
Meski memiliki manfaat strategis, pembangunan tol ini tidak luput dari dampak sosial. Sejumlah kawasan padat penduduk di Jakarta Utara harus mengalami penggusuran, di antaranya Jalan Martadinata, area rel kereta api, hingga pusat aktivitas logistik.
Bagi warga, penggusuran bukan sekadar kehilangan rumah, tetapi juga kehilangan ikatan sosial dan sumber mata pencaharian. Banyak usaha kecil yang terpaksa tutup karena lahan yang ditempati masuk dalam jalur proyek.
Dari perspektif manusia, inilah dilema pembangunan kota besar: antara kepentingan makro untuk kepentingan publik dan kepentingan mikro yang menyangkut kehidupan sehari-hari masyarakat.
Perspektif Pemerintah dan Tantangan Lahan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) bersama Pemprov DKI Jakarta terus berupaya menyelesaikan persoalan pembebasan lahan. Dari total 39 hektare yang dibutuhkan, baru sekitar 20 hektare (53 persen) yang berhasil dibebaskan.
Proses ini kerap menghadapi kendala berupa negosiasi harga tanah, perlawanan warga, hingga dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkan. Pemerintah berjanji memberikan kompensasi yang adil, namun pengalaman dari proyek-proyek sebelumnya menunjukkan bahwa tidak semua pihak merasakan keadilan secara merata.
Proyek Strategis dengan Dampak Nasional
Harbour II bukan sekadar proyek lokal. Sebagai akses utama menuju pelabuhan dan bandara, jalan tol ini menjadi bagian dari sistem logistik nasional. Indonesia sebagai negara kepulauan sangat bergantung pada kelancaran jalur distribusi barang.
Jika berhasil diselesaikan tepat waktu pada 2026, tol ini bisa menghemat waktu distribusi hingga 30 persen. Hal ini akan berimplikasi langsung terhadap efisiensi biaya logistik nasional yang selama ini dikenal tinggi.
Beberapa warga yang terdampak proyek tol ini memiliki pandangan berbeda. Ada yang merasa dirugikan karena harus kehilangan rumah dan usaha kecil mereka. Namun, ada pula yang melihatnya sebagai kesempatan untuk mendapatkan kompensasi dan memulai kehidupan baru di tempat lain.
“Berat rasanya harus pindah dari rumah yang sudah kami tempati puluhan tahun. Tapi kalau demi pembangunan, ya mau bagaimana lagi. Harapannya pemerintah bisa adil dalam ganti rugi,” ujar salah satu warga di kawasan Martadinata.
Suara-suara seperti ini menunjukkan bahwa pembangunan bukan sekadar beton dan aspal, melainkan juga kisah manusia yang hidup di dalamnya.
Pembangunan Tol Harbour II adalah cerminan ambisi Jakarta untuk menjadi kota modern dengan sistem transportasi terintegrasi. Dengan investasi besar, proyek ini diharapkan mampu memberikan dampak positif bagi mobilitas masyarakat, kelancaran logistik, dan pertumbuhan ekonomi.
Namun, di balik ambisi besar ini, ada cerita kecil yang tak boleh dilupakan: kehidupan warga yang tergusur, kenangan yang hilang, dan perjuangan untuk beradaptasi dengan kenyataan baru.
Menyatukan kepentingan publik dan kepentingan pribadi adalah tantangan utama pemerintah. Jika semua pihak bisa merasakan manfaat yang adil, maka Harbour II akan benar-benar menjadi jalan tol yang tidak hanya menghubungkan wilayah, tetapi juga menghubungkan cita-cita pembangunan dengan kesejahteraan manusia.