POSKOTA.CO.ID – Polemik terkait data pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,12 persen yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) menuai sorotan.
Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menilai terdapat sejumlah kejanggalan dalam penyajian data dan melaporkan hal tersebut ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui UN Statistical Commission.
Direktur CELIOS, Bhima Yudhistira, mengatakan pihaknya meminta audit independen guna memastikan standar internasional dalam metode penghitungan pertumbuhan ekonomi benar-benar diterapkan.
“Indikatornya ternyata ada sedikit perbedaan dengan data yang disampaikan oleh BPS terutama pada kuartal kedua di tahun 2025, sehingga memerlukan adanya pihak sebenarnya yang dipersepsikan sebagai independen dan juga yang memiliki prinsip-prinsip terkait dengan penyusunan metodologi statistik, UN Statistical Commission," kata Bhima, dikutip dari kanal YouTube Prof. Rhenald Kasali.
Nah, sehingga kita meminta mereka yang acuan standarnya dirujuk oleh Badan Pusat Statistik di Indonesia ini bisa melakukan checking kembali,”
Bhima menekankan bahwa usulan audit investigasi perlu dilakukan untuk memastikan transparansi serta kepatuhan terhadap principles of statistics yang berlaku secara global.
“Apakah perubahan-perubahan komponen dan data yang disajikan oleh BPS itu memang sudah sesuai dengan standar yang berlaku secara internasional yang disebut sebagai principles of statistics sehingga semua standar-standar tadi dapat dipertanggungjawabkan,"
"Karena kalau dilihat dari beberapa komponen data pertumbuhan 5,12 persen itu ada beberapa yang kita persepsikan sebagai janggal,” ujarnya,"
Baca Juga: Hari Konstitusi 18 Agustus, Pengamat Ingatkan Pentingnya Evaluasi Sistem Politik
Menurutnya, terdapat sejumlah komponen yang tidak sinkron dengan kondisi ekonomi riil, antara lain konsumsi, investasi, dan ekspor.
“Di kuartal kedua, lebarannya sudah lewat, pertumbuhan konsumsinya meningkat, dan pertumbuhan ekonomi secara totalnya bisa 5,12%. Nah, selain itu juga dari sisi investasi. Nah, investasi ini antara yang dilaporkan oleh BKPM bahwa betul memang kita sedang mendorong investasi di sektor hilirisasi, misalnya," jelasnya.
"Tapi fakta bahwa 28 perusahaan smelter yang terkait hilirisasi sekarang ini sedang terganggu produksinya, tapi kenapa angka investasi atau pembentukan modal tetap bruto itu mengalami kenaikan yang cukup tinggi?”
Bhima juga menyoroti data ekspor yang dinilai tidak sejalan dengan tren harga komoditas global.
“Selain itu juga ekspor. Jadi harga komoditas trennya sedang kurang begitu bagus, baik batu bara termasuk juga hasil olahan nikel, tapi dilihat dari sisi ekspor itu terjadi lonjakan yang cukup tinggi,"
"Dan selain itu juga, ketika pemerintah dia mengimpor mesin untuk pembuatan tank itu, maka boleh dicatat sebagai pembentukan modal tetap bruto. Tapi kalau dia hanya sekali pakai atau barang jadi yang diimpor, maka dicatatannya adalah diimpor atau dibelanja pemerintah, bukan di dalam investasi,”