"Sikap empati dan peduli kepada kebutuhan dan kepentingan rakyat hendaknya menjadi landasan dalam mengambil kebijakan sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan, bukan hanya kepada rakyat yang dulu mendukungnya..” kata Harmoko.
Mulai terkikisnya kesantunan tak hanya di dunia maya. Di alam nyata pun terindikasi mulai gersangnya budi pekerti dan moral yang ditandai di antaranya dengan maraknya pelecehan seksual. Tak jarang pelakunya adalah orang yang seharusnya memberi keteladanan soal etik dan moral.
Sering pula kita saksikan juga tawuran yang tak jarang hingga merenggut jiwa, sifat anarkis yang kian kentara, cepat marah, emosi meluap -luap dan maunya menang sendiri. Benar sendiri, yang lain salah.
Kita tentu prihatin atas situasi ini, lebih – lebih jika perilaku negatif semacam ini berkembang menjadi budaya baru sebagai bentuk eksistensi diri, terselip adanya arogansi kekuasaan dan kekuatan. Bisa karena jabatan, kewenangan dan penentu atau pemutus kebijakan.
Baca Juga: Kopi Pagi: Teladan Wujudkan Kemakmuran
Situasi seperti ini harus dicegah dengan mencari solusi dari akar masalah yang sebenarnya, yakni soal etik dan moral.
Seseorang melakukan perbuatan tidak bermoral karena moralitasnya rendah. Seseorang bertindak tidak etis, karena kurang memiliki etika.
Lantas bagaimana dengan etika dan moralitas politik yang belakangan acap menjadi sorotan?Jawabnya mencuat harapan para elite politik, pejabat publik mengedepankan etika dan moral dalam berkomunikasi dan atraksi politik.
Dulu, sebelum pemilu dan pilkada, atraksi politik dalam meraih kemenangan dengan memberi teladan soal etik dan moral dalam kontestasi.
Kini, mengedepankan etika dan moralitas politik dalam menggulirkan kebijakan.
Baca Juga: Kopi Pagi: Politik Tebar Pesona
Meski telah mengantongi legitimasi hukum dan demokrasi sebagai pejabat publik, tetapi legitimasi moral hendaknya terus diperjuangkan.
Politisi disebut etis, jika berkomitmen memperlakukan semua warga negara dengan adil dan setara.Tidak boleh memihak golongan tertentu, menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, kerabatnya. Apakah itu kerabat karena pertemanan, hubungan keluarga atau karena relasi dan donatur politik.
Hendaknya keadilan menjadi prinsip yang mendasari pengambilan keputusan dan tindakan sebagai elite politik dan pejabat publik
Sikap empati dan peduli kepada kebutuhan dan kepentingan rakyat hendaknya menjadi landasan dalam mengambil kebijakan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan, bukan hanya kepada rakyat yang dulu mendukungnya.
Kalau itu yang terjadi, bukan keadilan namanya, bukan pula kesetaraan, tetapi penumpukan kekuasaan dan kesejahteraan pada sekelompok orang. Dampaknya kesenjangan kian melebar karena tiadanya kesetaraan dalam perlindungan hak asasi, hak sipil, politik, ekonomi dan sosial, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” d media ini.
Perilaku yang demikian, tentunya tidak selaras dengan moralitas politik yang mengutamakan prinsip – prinsip moral dalam dunia politik.
Baca Juga: Kopi Pagi: Warisan Politik
Sementara kita tahu, moralitas politik menjadi aspek penting dalam menjaga tatanan sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Moralitas politik untuk memastikan bahwa kekuasaan digunakan secara bertanggung jawab dan untuk kepentingan seluruh masyarakat, bukan keuntungan pribadi dan kelompok tertentu.
Kekuasaan digunakan untuk kesejahteraan rakyat, bukan diselewengkan untuk kesejahteraan pribadi, keluarganya serta koleganya.
Bicara moralitas politik, bagi para elite politik dan pejabat publik negeri kita, tak lepas dari penerapan nilai – nilai luhur Pancasila dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan.
Nilai – nilai moral dimaksud, di antaranya kesopanan, kesantunan, keramahtamahan, saling menghargai dan menghormati, menghargai pendapat orang lain, tidak memaksakan kehendak, menghargai persamaan derajat, tenggang rasa, tidak semena – mena dan masih banyak lagi.
Menjauhkan diri dari ucapan dan perbuatan yang cenderung mau menang sendiri, memaksakan kehendaknya.
Inilah moral bangsa Indonesia yang hendaknya teraplikasi dalam kehidupan sehari – hari, baik dalam dunia maya, lebih – lebih alam nyata.
Baca Juga: Kopi Pagi: Anak Hebat Bermartabat
Yang intinya menata hubungan yang harmonis penuh kebaikan, bukan keburukan. Tidak saling menjatuhkan dan mencari pembenaran sendiri. Tidak memaksakan kebenaran dirinya sendiri kepada orang dengan segala cara.
Membangun komunikasi seperti ini yang hendaknya tercermin dalam kehidupan sehari – hari, tak hanya di dunia nyata, juga di dunia maya yang penuh dinamika.
Tak kalah pentingnya, para politisi dan pejabat publik wajib bertanggung jawab atas ucapan dan tindakannya. Senantiasa membuka diri atas segala kritik sebagai bentuk pengawasan publik.
Mari kita bangun dan terapkan moralitas politik Indonesia yang berlandaskan kepada Pancasila dan UUD 1945, yang ber- Bhinneka Tunggal Ika. Bukan moralitas politik ala negara lain. (Azisoko)